Kamis, 21 Januari 2010

MENENGOK PROYEK DIGITAL LIBRARY

Romi Satria Wahono
Peneliti, di Pusat Dokumentasi Informasi Ilmiah - LIPI
romi@romisatriawahono.net
http:/ /romisatriawahono.net
Tantangan baru teknologi informasi khususnya untuk para penyedia informasi adalah bagaimana menyalurkan informasi dengan cepat, tepat dan global. Perpustakaan sebagai salah satu penyedia informasi yang keberadaannya sangat penting di dunia informasi, mau tidak mau harus memikirkan kembali bentuk yang tepat untuk menjawab tantangan ini. Salah satunya adalah dengan mewujudkan digital library yang terhubung dalam jaringan komputer


1. Pendahuluan

Tantangan baru teknologi informasi khususnya untuk para penyedia informasi adalah bagaimana menyalurkan informasi dengan cepat, tepat dan global. Perpustakaan sebagai salah satu penyedia informasi yang keberadaannya sangat penting di dunia informasi, mau tidak mau harus memikirkan kembali bentuk yang tepat untuk menjawab tantangan ini. Salah satunya adalah dengan mewujudkan yang terhubung dalam jaringan komputer.
Digital Library (DL) atau perpustakaan digital adalah suatu perpustakaan yang menyimpan data baik itu buku (tulisan), gambar, suara dalam bentuk file elektronik dan mendistribusikannya dengan menggunakan protokol eIektronik melalui jaringan komputer. Istilah digital library sendiri mengandung pengertian sama dengan electronic library dan virtual library. Sedangkan istilah yang sering digunakan dewasa ini adalah digital library, hal ini bisa kita lihat dengan sering munculnya istilah tersebut dalam workshop, simposium, atau konferensi dengan memakai nama.
Penelitian Digtal Library mulai berkembang pesat sejak tahun 1990 diiringi dengan kemajuan teknologi jaringan komputer yang memungkinkan pengaksesan informasi dari satu tempat ke tempat lain yang sangat jauh dalam waktu singkat. Dimulai dengan terselenggarakannya Workshop on Digital Libraries pada tahun 1994, beberapa konferensi lain seperti Digital Libraries (DL) yang disponsori oleh ACM, kemudian Advances in Digital Libraries (ADL) yang disponsori oleh IEEE/NASA/NLM, secara kontinue diselenggarakan. Maraknya workshop, simposium, atau konferensi disini membuktikan bahwa semakin banyaknya peneliti yang mulai menggeluti bidang Digtal Library ini.
Proyek penelitian Digtal Library pada intinya meneliti bidang pendigitalan dokumen dan pembangunan sistem untuk dokumen digital.
Pada pendigitalan dokumen, diteliti tentang bagaimana mendigitalkan dokumen dan jenis penyimpanan digital dokumen baik bernpa full text maupun page image. Sedangkan bidang pembangunan sistem pada Digtal Library, diteliti tentang pedesainan dan implementasi sistem untuk memanipulasi data pada database, misalnya penelitian arsitektur sistem yang baik untuk Digtal Library, baik yang sederhana hingga implementasi teknologi agent dari Artificial Intelligence(AI), dan sebagainya.
Penelitian Digtal Library berikutnya adalah tentang hak cipta dari dokumen, payment system, customer system dan aplikasi-aplikasi lainnya. Semua aplikasi yang diteliti diarahkan menuju managemen aplikasi berbasis elektronik. Misalnya pada penelitian hak cipta dari dokumen, penelitian diarahkan untuk mengembangkan managemen hak cipta secara elektronik, meskipun tentu saja masih terdapat hambatan terutama pada peraturan hak cipta yang ada.
Proyek penelitian Digtal Library dewasa ini sudah tersebar di hampir seluruh dunia, dan kali ini akan diuraikan secara singkat proyek penelitian yang ada di Amerika dan Jepang.

2. Penelitian Digital Library di Amerika

2.1. TULIP Project
Pada tahun 1991, delapan universitas yaitu : Carnegie Mellon University, Cornell University, Georgia Institute of Technology, Massachusetts Institute of Technology, University of California, University of Tennesee, University of Washington, Virginia Polytechnic and State University, bersama perusahaan Elsevier Science mengadakan kesepakatan kerjasama penelitian tentang Digital Library yang kemudian terkenal dengan nama TULIP (The University Licensing Project).
Proyek TULIP ini adalah mendigitalkan data, dokumen, majalah di bidang Material Science. Tema penelitian utama di proyek TULIP ini adalah sebagai berikut :
1. Sistem pengumpulan dan penyimpanan data
2. Jenis data yang disimpan
3. Promosi dari proyek TULIP
4. Sistem penarikan biaya dari penggunaan Digtal Library
5. Teknik pengaksesan Digtal Library

2.2. NSF/ARPA/NASA Project
Pada bulan September 1995, NSF/ARPA/NASA mengeluarkan dana sekitar 25 juta US dolar untuk membiayai enam proyek penelitian Digtal Library. Masing-masing proyek penelitian dipusatkan di enam universitas dengan proyek penelitian sebagai berikut :
1. Carnegie Mellon University : Informedia Interactive Online Video Digital Library
2. University of Michigan : The University of Michigan Digital Library (UMDL)
3. University of Illinois at Havana : Interspace
4. University of California at Barkeley : Electronic Enviromental Library
5. Stanford University: Stanford Integrated Digital Library Project
6. University of California at Santa Barbara: Alexandria Digital Library
Proyek penelitian Digtal Library dari NSF/ARPA/NASA tersebut boleh dibilang sebagai proyek penelitian yang cukup berhasil dan menjadi dasar penelitian-penelitian Digtal Library di dunia. Hal ini karena didukung oleh peneliti-peneliti di berbagai bidang, organisasi penerbit dan percetakan, perpustakaan-perpustakaan, dan juga pemerintah Amerika sendiri.

2.3. National Digital Library project
Perpustakaan nasional seperti kita ketahui adalah perpustakaan dengan dokumen yang terlengkap pada suatu negara dan biasanya menyimpan dokumen-dokumen yang sangat penting. Untuk kelancaran distribusi dokumen dan menjaga keawetan dokumen, dimulailah usaha dan penelitian untuk mendigitalkannya. Tidak hanya di Amerika, dibeberapa negara-negara maju misalnya Perancis, Jepang, dan sebagainya usaha membangun Digtal Library untuk perpustakaan nasional juga sudah dimulai.

3. Penelitian Perpustakaan Digital di Jepang

3.1. NACSIS-ELS
Proyek dikoordinasi oleh MONBUSHO dan diberi nama NACSIS-ELS (National Center for Science Information Systems-Electronic Library Sistem). Data yang disimpan berupa jurnal penelitian, majalah ilmiah, dan data-data yang berhubungan dengan penelitian ilmiah lainnya. Transfer data menggunakan protokol yang merupakan pengembangan dari ANSI Z 39.50, dan software browser menggunakan software browser khusus yang diproduksi sendiri oleh proyek NACSIS-ELS yang dibagikan secara gratis.
Masalah yang mendasar pada penelitian NACSIS-ELS adalah sistem penyimpanan data yang menggunakan page image, untuk itu penelitian dilanjutkan dengan tema merubah data page image ke data full text.

4. Masalah Pada Digtal Library

4.1. Masalah Mendigitalkan Dokumen
Pembuatan Digtal Library tidak menemui masalah selama dokumen yang diterima berupa file elektronik. Masalah muncul pada saat dokumen yang diterima berupa file non-elektronik, misalnya berupa kertas atau buku. Hal ini merupakan masalah utama yang dibahas pada proyek-proyek penelitian diatas, khususnya dalam pembuatan Digtal Library dengan dokumen dari perpustakaan umum atau dari grey literature.
Pembuatan tidak menemui masalah selama dokumen yang diterima berupa file elektronik. Masalah muncul pada saat dokumen yang diterima berupa file non-elektronik, misalnya berupa kertas atau buku. Hal ini merupakan masalah utama yang dibahas pada proyek-proyek penelitian diatas, khususnya dalam pembuatan dengan dokumen dari perpustakaan umum atau dari

4.2. Masalah Hak Cipta Masalah ini sebagian besar terbagi dua :
1. Hak cipta pada dokumen yang didigitalkan. Yang termasuk didalamnya adalah : merubah dokumen ke digital dokumen,
memasukkan digital dokumen ke database, merubah digital dokumen ke hypertext dokumen.
2. Hak cipta pada dokumen di communication network. Di dalam hukum hak cipta masalah transfer dokumen lewat komputer
network belum didefinisikan dengan jelas. Hal yang perlu disempurnakan adalah tentang : hak menyebarkan, hak meminjamkan,
hak memperbanyak, hak menyalurkan baik kepada masyarakat umum atau pribadi, semuanya dengan media jaringan komputer
termasuk didalamnya internet, intranet, dan sebagainya.
Pengaturan hak cipta pada digital dokumen diatas sangat diperlukan terutama untuk memperlancar proyek Digtal Library di dunia. Salah satu wujud nyata adalah penelitian tentang ECSM (Electronic Copyright Management System), yang intinya adalah sistem yang memonitor penggunaan digital dokumen oleh user secara otomatis.

4.3. Masalah Penarikan Biaya
Hal ini menjadi masalah terutama untuk swasta yang menarjk biaya untuk setiap dokumen yang diakses. Penelitian pada bidang ini banyak mengarah ke pembuatan sistem deteksi pengasesan dokumen ataupun upaya mewujudkan electronic money.

5. Kesimpulan
Pada makalah ini telah diuraikan pengertian Digtal Library, proyek-proyek penelitiannya dan masalah-masalah yang masih tersisa dari Digtal Library. Meskipun tentu saja proyek Digtal Library merupakan proyek yang memerlukan tenaga, waktu dan biaya yang tidak sedikit, tapi tak dapat disangkallagi keberadaannya sangat diperlukan terutama dalam menjawab tantangan teknologi informasi menjelang abad 21.

Komunikasi efektif pustakawan

Oleh : Irman Siswadi
siswadi02@yahoo.com


Pustakawan merupakan profesi yang menekankan pada pemberian layanan, khususnya layanan informasi. Kemampuan berkomunikasi menjadi salah satu komponen penting dalam melakukan layanan. Oleh karena itu mengetahui kebutuhan dan karakter pengguna manjadi sarana penting untuk mencapai layanan prima di perpustakaan.



Seorang pengguna menulis surat pada kotak saran yang disediakan di satu perpustakaan. Surat tersebut berisi keluhan tentang sikap pustakawan dalam memberikan layanan. Keluhan yang disampaikan adalah tidak kooperatifnya pustakawan dalam melayani, baik pada saat pengguna bertanya maupun dalam menyampaikan informasi. Bahkan pengguna memperoleh kesan yang kurang menyenangkan pada saat bertanya. Jawaban yang diperoleh terkesan tidak ramah dan bahkan memunculkan kesan memarahi. Kejadian tersebut mungkin pernah terjadi di setiap perpustakaan. Bentuk keluhanpun bermacam-macam tergantung dari pengguna yang mengalaminya. Bagi pustakawan, apapun yang disampaikan oleh pengguna dapat menjadi masukan yang perlu diperhatikan.

Terlepas dari ilustrasi di atas, perpustakaan dapat diibaratkan tanaman yang selalu rutin disiram sehingga dapat tumbuh dengan baik. Perpustakaan akan berkembang dengan baik apabila dapat memberikan manfaat bagi penggunanya. Eksistensi perpustakaan akan terbentuk dengan sendirinya selama pengguna merasakan bahwa kebutuhan informasinya terpenuhi dan juga pengguna merasa terpuaskan dengan layanan yang diberikan. Satu aspek penting lainnya adalah adanya komunikasi yang baik antara pustakawan dan pengguna. Komunikasi yang baik dapat menjadi dasar perpustakaan menyediakan layanan prima. Layanan prima dapat diusahakan dan melalui proses yang dilakukan oleh pustakawan sebagai pengelola perpustakaan. Tulisan ini mencoba membahas apa pengertian layanan dan layanan prima; aspek komunikasi pustakawan dan pengguna serta bagaimana cara pustakawan memberikan layanan sehingga membentuk layanan prima di perpustakaan.

Layanan dan layanan prima
Pada dasarnya perpustakaan merupakan lembaga layanan atau jasa. Dwiridotjahjono (2006: 33) mengatakan bahwa garis besar konsep layanan atau service mengacu pada tiga lingkup utama yaitu industri, output atau penawaran dan proses. Lembaga pendidikan dimana di dalamnya terdapat perpustakaan menjadi bagian penting sebagaimana lingkup industri dalam konteks layanan. Output atau penawaran lebih merujuk pada jasa yang ditawarkan yang bersifat intangible yaitu layanan yang dapat dirasakan secara langsung oleh pemakainya. Bagi perpustakaan penawaran tidak saja melingkupi apa yang langsung terlihat tetapi dapat juga dalam bentuk penyebaran informasi tacit yang tidak bisa dilihat. Baik intangible maupun tacit knowledge tersedia di perpustakaan. Sebagai proses, jasa yang diberikan berupa layanan inti yang tersedia di perpustakaan termasuk juga interaksi personal antara pustakawan dan pengguna serta kinerja (performance) dalam arti yang luas. Ketiga unsur tersebut saling bersinergi sehingga mencapai apa yang diharapkan oleh perpustakaan itu sendiri.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001), mendefinisikan layanan sebagai cara melayani. Sedangkan layanan informasi adalah pelayanan informasi yang diberikan oleh sebuah kantor atau perusahaan melalui lisan, telepon atau surat sebagai jawaban. Sedangkan prima berarti sangat baik; dan utama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa satu layanan prima adalah satu layanan yang sangat baik sesuai dengan kebutuhan yang diharapkan atau bahkan diusahakan untuk memberikan layanan yang lebih baik dari apa yang diharapkan oleh pengguna perpustakaan. Pada pelaksanaannya, satu layanan prima tidaklah baku sebagaimana pengertian di atas. Pengertian baku tentang layanan prima sangat tergantung bagaimana pustakawan sebagai pengelola perpustakaan dapat memberikan layanan yang terbaik bagi penggunanya.

Benang merah dari kedua pengertian di atas adalah adanya proses komunikasi antara pustakawan dan pengguna. Proses tersebut menjadi bagian penting dari mekanisme layanan yang terjadi di perpustakaan. Faktor industri (dalam hal ini perpustakaan di lembaga pendidikan); penawaran dan proses pemberian jasa memerlukan komunikasi untuk mencapai tujuan. Sedangkan layanan prima sangat memberikan penekanan pada pemberian jasa yang dapat memuaskan pengguna perpustakaan. Dengan demikian komunikasi efektif antara pustakawan dan pengguna sangatlah penting dalam proses pemberian layanan di perpustakaan.

Komunikasi Pustakawan dan Pengguna

Rogers sebagaimana dikutip oleh Canggara (2005: 19) menuliskan pengertian komunikasi sebagai berikut “Komunikasi adalah suatu proses di mana dua atau lebih membentuk atau melakukan pertukaran informasi dengan satu sama lainnya, yang pada gilirannya akan tiba pada saling pengertian yang mendalam.” Pengertian di atas menekankan adanya interaksi antara pustakawan dan penggunanya. Feather (2003: 85) menuliskan proses komunikasi digambarkan dalam bentuk triangular interaction.

Sign

Interpretation Object

Komunikasi akan berlangsung dengan baik apabila adanya interpretasi yang sama terhadap objek yang disampaikan melalui pesan (message) dalam bentuk tanda (sign). Bagi seorang pustakawan interpretasi menjadi hal penting karena sebagai pustakawan dalam memberikan layanan akan berhadapan dengan berbagai kebutuhan dan jenis karakter pengguna. Oleh karena itu seorang pustakawan harus profesional dalam menjalaninya serta tetap merujuk pada kebutuhan penggunanya. Disamping itu seorang pustakawan untuk bisa lebih memahami penggunanya perlu mengetahui pola interaksi dalam proses layanan. Ernawati (2008) menyampaikan dalam presentasinya beberapa pola interaksi dalam layanan:



1. Manusia dan mesin / system, terdiri atas:

a. Website yang menarik dan informatif
Perpustakaan virtual akan menyajikan seluruh informasinya dalam bentuk website yang dapat diakses melalui internet. Website ini merupakan pintu gerbang utama perpustakaan dalam bentuk virtual. “Kunjungan” virtual akan memberikan kesan pertama bagaimana perpustakaan memberikan layanannya dan seberapa jauh informasi awal dapat diperoleh melalui website tersebut.

b. OPAC yang informatif
Online Public Access Catalog atau OPAC merupakan fasilitas penelusuran koleksi yang dimiliki oleh satu perpustakaan. OPAC yang informative menjadi sarana komunikasi mesin yang utama untuk mengetahui koleksi yang ada. Terkadang ditemukan OPAC yang tidak informative seperti menyatakan judul buku tersedia tetapi setelah ditelusur tidak tersedia di rak atau bahkan di perpustakaan tersebut. Selain itu informasi yang terdapat di OPAC diharapkan selalu diperbaharui sehingga pengguna dapat mengetahui koleksi terakhir yang dimiliki oleh perpustakaan.
1.

c. Retrieval system yang user friendly
Sistem temu balik (retrieval system) yang mudah digunakan oleh pengguna (user friendly) dapat memberikan kesan yang baik bagi pengguna yang sedang mencari informasi. Ketersediaan fitur-fitur serta informasi yang lengkap tentang bagaimana cara mengakses informasi akan sangat membantu pengguna yang masih ‘awam’ dalam menggunakan fasilitas penelusuran yang tersedia, seperti OPAC. Selain itu adanya rambu-rambu yang jelas dan dapat dibaca langsung oleh pengguna akan memberikan dukungan terhadap system yang sudah tersedia di perpustakaan.

d. Prosedur kerja yang jelas
Seorang pustakawan harus mengetahui dengan jelas deskripsi kerja yang harus dilakuka setiap harinya. Hal ini akan menciptakan prosedur kerja yang jelas di perpustakaan. Prosedur kerja yang baik akan memberikan kemudahan bagi pengguna pada saat akan memanfaatkan layanan yang terdapat di perpustakaan. Sebagai contoh bagaimana prosedur kerja untuk menjadi anggota, apa saja persyaratannya dan sebagainya. Informasi yang jelas dan terbuka juga akan membentuk iklim kerja yang sehat di perpustakaan.
e. Sisfo pendukung layanan perpustakaan
Sistim informasi (sisfo) pendukung layanan sangat diperlukan oleh pengguna. Pengguna dapat terbantu dengan adanya system informasi yang jelas, seperti pengumuman, berita-berita tentang perpustakaan dan lain-lain. Sisfo pendukung dapat ditampilkan di website maupun dalam bentuk tercetak yang diletakkan di ruangan perpustakaan serta dapat juga ditempelkan di dinding pengumuman yang tersedia di perpustakaan.

2. Manusia dan manusia

a. Jawaban telepon
Telepon memberikan kesan pertama tentang “image” satu perpustakaan. Jawaban telepon yang sopan akan memberikan kesan yang menyenangkan pada saat seseorang menghubungi perpustakaan. Disamping itu penerima perlu mengetahui dengan jelas mengenai apa yang ditanyakan dan kepada siapa telepon ditujukan. Oleh karena itu seorang penerima perlu mengetahui informasi umum yang tersedia di perpustakaan. Apabila tidak dapat menjawab, penerima telepon dapat merujukkan kepada orang yang tepat untuk menjawab telepon tersebut.

b. Jawaban surat (tradisional; e-mail)
Sebagaimana jawaban telepon, jawaban surat baik manual maupun melalui e-mail dapat sebagai wakil perpustakaan. Kaidah bahasa yang baik dan benar serta sopan dalam cara menuliskan akan memberikan kesan mendalam bagi si penerima surat. Penerima surat akan merasa puas apabila jawaban yang diperoleh memenuhi kebutuhan informasinya.

c. Informasi lewat SMS
Kemajuan teknologi memungkinkan pengguna menghubungi pustakawan dengan berbagai macam cara, salah satu dengan short message service (SMS) atau layanan pesan pendek. Cara ini sangat efektif karena pustakawan dapat langsung menjawab apa yang ditanyakan.

d. Berhadapan (F2F)
Berhadapan secara langsung merupakan cara lama berkomunikasi antara pustakawan dan pengguna. Baik pustakawan maupun akan memiliki kesan tersendiri terhadap pertemuan tersebut. Pustakawan harus dapat bersikap menghargai siapapun yang dihadapi saat itu. Disamping itu pustakawan perlu mengetahui dan menggali kebutuhan informasi pengguna pada saat bertemu. Oleh karena itu cara ini dapat memberikan penilaian langsung bagaimana pustakawan memberikan layanan.

Agar supaya pustakawan dapat lebih mengetahui pengguna yang dihadapi, pustakawan perlu mengenal benar siapa sebenarnya pengguna atau pemakai jasa perpustakaan tersebut. Dahana (2008) dalam presentasinya mengatakan bahwa pengguna merupakan pemakai jasa perpustakaan adalah mereka sebagai:


1. Bukan benda mati
Sebagaimana pustakawan yang melayani mereka adalah individu-individu yang pada saat berkunjung ke perpustakaan membutuhkan informasi. Informasi yang mungkin tersedia di perpustakaan tersebut. Mereka mempunyai hak dan kewajiban yang sama dan memiliki perasaan bagaimana mengungkapkan kebutuhannya.

2. “Sumber hidup” perusahaan, orang paling penting
Seperti sudah disinggung di awal tulisan ini, eksistensi perpustakaan tergantung dari pengguna yang memanfaatkannya. Perpustakaan tidak dapat berfungsi dengan baik jika tidak adanya pengguna yang mengunjungi dan memanfaatkan. Oleh karena itu sebagai “sumber hidup” pengguna dapat dikategorikan “orang penting” dalam sistem perpustakaan.

3. Orang yang “menggaji” kita
Pengguna dapat dianggap sebagai orang yang “menggaji” pustakawan. Betapa tidak, hidupnya satu perpustakaan karena adanya konsumen atau pengguna yang memanfaatkan. Dan menjadi lebih bernilai apabila perpustakaan dapat membantu jalan keluar bagi lembaga atau perusahaan dimana perpustakaan tersebut menjadi bagiannya. Pengambilan keputusan lembaga dapat berjalan dengan baik pada saat pengguna mendatangi perpustakaan untuk mencari informasi yang diperlukan.

4. Bukan lawan berdebat
Seorang pengguna yang berkunjung ke perpustakaan mempunyai tujuan untuk mencari informasi sesuai dengan kebutuhannya. Salah satu cara yang biasa dilakukan adalah bertanya langsung dengan pustakawan. Di mata seorang pengguna, pustakawan diharapkan dapat menjawab apa yang dibutuhkannya. Pada saat bertemu, jangan sampai muncul “perdebatan”. Pustakawan perlu menggali apa sebenarnya yang dibutuhkan oleh pengguna, sehingga pustakawan dapat memberikan jalan keluar yang terbaik bagi pengguna dalam mencari informasinya.

5. Bagian dari usaha, bukan orang luar
Pengguna menjadi bagian dari usaha, bukan orang luar. Sistem informasi di perpustakaan mengenal pengguna sebagai tujuan akhir alur informasi yang mengalir di perpustakaan. Sebagai komponen system, pengguna menjadi bagian penting karena apapun yang “tersedia” di perpustakaan di pengguna yang membutuhkan. “User oriented” atau orientasi kepada pengguna menjadi misi akhir perpustakaan mengadakan layanan.

6. Tujuan kerja kita, bukan selingan
Menjadi pustakawan yang bekerja di perpustakaan menjadi tujuan utama dalam bekerja. Bekerja di perpustakaan tidak menjadi ‘selinggan’ dari pekerjaan lainnya, sehingga dalam bekerja sebagai pustakawan akan lebih memiliki tanggungjawab. Tanggungjawab yang sudah terbentuk tersebut akan memberikan pengaruh terhadap cara memberikan layanan atau tugas yang diberikan oleh perpustakaan.

7. Tidak tergantung pada “perusahaan”
Menjadi pribadi yang tidak tergantung merupakan salah satu tujuan dalam bekerja di perpustakaan. Kreatifitas dan sifat inovatif dari seorang dibutuhkan pada saat bekerja di perpustakaan. Bekerja tidak tergantung pada perintah tetapi sudah menjadi bagian dari tanggungjawab yang diembannya. Hal ini akan memberi pengaruh kepada pustakawan pada saat melayani. Kesigapan dan keikhlasan dalam bekerja memberikan pengaruh pada saat melayani langsung pengguna yang meminta bantuan.

Lalu bagaimana sebagai pustakawan yang melayani informasi? Ernawati (2008) mengatakan bahwa dalam melayani seorang pustakawan perlu berperilaku sebagai berikut:
a. Jujur dalam bersikap dan bertindak
b. Rajin dan tepat waktu, tidak pemalas
c. Selalu murah senyum
d. Lemah lembut dan rama
e. Sopan santun dan hormat dalam tutur kata
f. Periang, selalu ceria, pandai bergaul
g. Simpatik: dapat menyenangkan pengguna
h. Fleksibel: selalu ada kemudahan tanpa melanggar tata tertib yang ada
i. Serius: harus bersungguh-sungguh tetapi tidak kaku dalam penampilan
j. Memiliki rasa tanggung jawab
k. Rasa memiliki perusahaan
l. Suka menolong pelanggan

Memang tidak mudah untuk menjalankan perilaku di atas. Pustakawan perlu merubah cara pandang dalam memberikan layanan. Oleh karena itu untuk memberikan layanan yang baik, seorang perlu menguasai dengan baik bidang kerjanya. Disamping itu sebagai pustkawan perlu untuk terus memperbaiki cara berkomunikasi dengan penggunannya. Diharapkan keluhan-keluhan yang berkaitan dengan cara berprilaku pustakawan akan berkurang bahkan tidak ada sama sekali.

PERPUSTAKAAN MERUPAKAN DENYUT NADI PENDIDIKAN

Konsentrasi Islam dalam mewujudkan peradaban ilmu melalui tradisi buku sangatlah besar. Al qur’an sendiri turun sebagai wahyu dengan sebutan unik yaitu Al Kitab, dimana dalam Al Kita tersebut terdapat ayat yang pertama kali turun yaitu Iqra yang artinya “bacalah”. Dibawah support Rasulullah para sahabat begitu giat melakukan aktivitas penulisan dan pendokumentasian karena mangetahui betul betapa ilmu harus diikat dengan tulisan agar dapat di wariskan, dan dipelajari bagi generasi penerusnya. Kepedulian untuk berinteraksi dengan buku baik dalam bentuk penulisan, penyalinan, penerjemahan bahkan penelitian terus dikembangkan. Perpustakaan besar Islam yang pertama kali didirikan adalah Daarul Ulum atau Baitul Hikmah pada awal abad IX M oleh Khalifah Harun Al-Rasyid. Baitul Hikmah sendiri didesain sebagai perpustakaan sekaligus universitas yang bertujuan untuk membantu perkembangan belajar, mendorong penelitian, dan mengurusi terjemahan teks-teks penting.
Kehadiran Baitul Hikmah telah mendatangkan efek yang penting bagi kehidupan intelektual pada zaman itu, serta menjadi pusat referensi. Bahkan Raja Louis XI dari Perancis saat perjalanan Perang Salib mendapat ide mendirikan perpustakaan serupa bernama “Bibliotheque Nationale” setelah melihat perpustakaan-perpustakaan Islam di kawasan Laut Tengah. Sayangnya perpustakaan itu baru terwujud beberapa abad kemudian karena Eropa bukan pusat peradaban ilmu ketika itu.

Kondisi Pasang surut kejayaan kerajaan-kerajaan Islam memang sangat mempengaruhi kondisi perpustakaan yang ada. Meski tahun 1258 kota Baghdad (sebagai kota ilmu) diporak-porandakan oleh Mongol. Para sejarahwan mencatat kurang lebih 36 perpustakaan yang diiventarisir untuk di dirikan kembali. Perpustakaan Baitul Hikmah segera digantikan oleh kota-kota penting di Mesopotamia, Syria. Asia Tengah, Mesir dan Iran. Hal ini menunjukkan betapa ilmuan Islam menjadikan perpustakaan sebagai sentral peradaban yang benar-benar menjadi urat nadi perkembangan Islam.

Bentuk perpustakaan yang dikembangkan oleh ilmuan-ilmuan Islam juga tergolong baru. Penguasa kerajaan tidak membatasi siapa saja untuk berinteraksi dengan buku, baik dengan cara meminjam, menyalin, menterjemahkan, dan lain sebagainya. Bahkan anggaran Negara yang dikeluarkan untuk membiayai perpustakaan tersebut sangat besar. Tidak sama halnya dengan perpustakaan-perpustakaan yang berkembang sebelumnya, sepeti perpustakaan kuno di Alexandria yang didirikan oleh Ptolemaeus dimana perpustakaan dikembangkan hanya sebagai gudang buku, tidak ada transaksi peminjaman yang dapat diakses oleh siapa saja, pada zaman itu paradigma yang dikembangkan adalah mengumpulkan buku sebanyak-banyaknya.

Pada zaman peradaban itu setiap kali ada kapal berlabuh, penguasa selalu memeriksa apakah kapal tersebut mengangkut manuskrip ataukah tidak. Bila ditemukan manuskrip, maka manuskrip tersebut dibawa keperpustakaan untuk disalin. Salinan buku diberikan kepada pemiliknya sementara teks asli menjadi milik penguasa. Peradaban Islam telah melahirkan perpustakaan-perpustakaan bermutu sepanjang sejarah. Aksesnya yang terbuka lebar untuk siapa saja mendorong perubahan dunia sedemikian cepat. Perpustakaan Baitul Hikmah di Bagdad memiliki koleksi buku sekitar 400 hingga 500 ribu buku. Perpustakaan khalifah dinasti Fatimiyah di Kairo jumlah seluruh buku yang ada mencapai 2.000.000 buku. Perpustakaan ini berisi berbagai macam ilmu antara lain Al-Qur’an, astronomi, tata bahasa, lexicography dan obat-obatan.

Pada Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo mempunyai 40 lemari yang tiap lemarinya bisa memuat sampai 18.000 buku. Selain itu, diperpustakaan ini juga disediakan segala yang diperlukan seperti tinta, pena, kertas dan tempat tinta. Perpustakaan Al-Hakam di Andalus dengan Jumlah buku didalamnya sebanyak 400.000 buku, Perpustakaan ini mempunyai katalog-katalog yang sangat teliti dan teratur mencapai 44 bagian, di perpustakaan ini terdapat pula para penyalin buku yang cakap dan penjilid-penjilid buku yang mahir. Perpustakaan Bani Ammar di Tripoli berisi buku-buku yang langka dan baru di zamannya, perpustakaan ini mempekerjakan orang-orang pandai dan pedagang-pedagang, untuk menjelajahi negeri-negeri guna mengumpulkan buku-buku yang berfaedah dari negeri-negeri yang jauh dan wilayah-wilayah asing. Jumlah koleksi bukunya mencapai 1.000.000, di perpustakaan tersebut terdapat 180 penyalin yang menyalin buku-buku, pada masa itu juga terdapat banyak perpustakaan pribadi. Para ulama zaman itu memiliki perpustakaan yang isinya mencapai ribuan buku.

Paradigma Perpustakaan; yang merupakan Jantung Pendidikan tidak banyak lembaga dan ormas yang berkembang di Indonesia ini menghargai betul arti perpustakaan. Apabila sebuah Lembaga, Badan atau Departemen yang tidak memiliki perpustakaan dapat dikatakan penghargaannya terhadap ilmu sangatlah lemah, jika demikian sumberdaya manusianyapun juga melemah yang artinya tidak ada ilmuan yang dilahirkan darinya, dimana ahlul ilmu senantiasa lahir dari hasil berinteraksi dengan gudang-gudang buku.

Di dunia pendidikan, ruang perpustakaan menjadi salah satu syarat perizinan. Akan tetapi tidak sedikit dari pelaku pendidikan yang kurang memperhatikan hal ini. Walhasil, mereka hanya menyediakan buku-buku sebagai syarat, bukan landasan pengembangan intelektualitas yang diperjuangkan. Maka mahasiswa yang dihasilkanpun hanya mencukupi syarat saja, bukan utama. Sebab perpustakaan adalah pusat buku, dan buku adalah modal mahasiswa untuk mengembangkan intelektualisnya, maka kedudukan perpustakaan di dunia pendidikan adalah wajib. Sebuah pendidikan akan berusaha keras mewujudkan perpustakaan yang representative jika memahami benar fungsi perpustakaan tersebut diadakan.

Secara umum perpustakaan memiliki beberapa fungsi sebagai berikut.

1.Fungsi Edukatif yaitu perpustkaan menyediakan bahan pustaka yang sesuai dengan kurikulum yang mampu membangkitkan minat baca, mengembangkan daya ekspresi, mengembangkan kecakapan berbahasa, mengembangkan gaya pikir yang kritis.

2.Fungsi Informatif dalam hal ini perpustakaan menyediakan bahan pustaka yang memuat informasi tentang berbagai cabang ilmu pengetahuan yang bermutu dan uptodate. Disusun secara teratur dan sistematis, sehingga dapat memudahkan para petugas dan pemakai dalam mencari informasi yang diperlukannya.

3.Fungsi Administratif, yang dimaksudkan dengan fungsi administratif ialah perpustakaan harus mengerjakan pencatatan, penyelesaian dan pemrosesan bahan-bahan pustaka serta menyelenggarakan sirkulasi yang praktis, efektif, dan efisien.

4.Fungsi Rekreatif, Yang dimaksudkan dengan fungsi rekreatif ialah perpustakaan disamping menyediakan buku-buku pengetahuan juga perlu menyediakan buku-buku yang bersifat rekreatif (hiburan) namun bermutu seperti cerita sejarah, novel, kumpulan cerpen, dan lain sebagainnya.

5.Fungsi Penelitian, Ini adalah fungsi sentral yang tidak bisa tidak menjadikan perpustkaan harus diwujudkan. Sebab referensi dalam sebuah penelitian merupakan harga mati. Sebelum tahun 2002 sistem online secara umum belum dikenal masyarakat, penyimpanan data hingga layanan perpustakaan masih menggunakan sistem manual, semuanya harus dicatat oleh petugas, Tentu, cara seperti itu sangat melelahkan dan tidak efektif. Seiring perkembangan tehnologi, perpustakaan-perpustakaan perguruan tinggi kini mengembangkan model perpustakaan digital dengan akses manuskrip-manuskrip yang lebih mudah dan efesien.

Arti penting sebuah perpustakaan tidak hanya sekedar wacana. Sangat tidak berlebihan jika perpustakaan sering disebut-sebut sebagai jantungnya pendidikan. Sebanyak apapun pelajar/mahasiswa belajar disebuah sekolah/ kampus, jika tidak dilengkapi dengan perangkat perpustakaan yang memadai hanya akan membuat lamban proses pembelajaran. Perpustakaan juga berfungsi untuk memberikan informasi yang seluas-luasnya kepada masyarakat tentang ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, serta sebagai sarana pendidikan sepanjang hayat khususnya melalui buku.

Di Amerika serikat, ketika Islam menjadi agama yang disorot dengan berbagai sudut pandang, perpustakaan menjadi salah satu solusi. Umat Islam dinegeri itu merasa perlu mengambil langkah-langkah untuk menutupi sudut pandang buruk dengan meluncurkan proyek perpustakaan, seperti yang dikatakan oleh Ibrahim Hooper dari Council for American-Islamic Relations atau CAIR. Perpustakaan ini adalah modal sekaligus energi tersendiri untuk membawa Islam kepada pemahaman yang utuh. Ide perpustakaan ini lahir untuk mengangkat martabat Islam di sebuah negeri minoritas. Bahkan disebuah negeri penjajah bernama Israel, perpustakaan mini menghiasi setiap sudut pos-pos jaga militer sembari membidik satu nyawa mujahid palestina. Masih adakah yang ingin menggusur perpustakaan?

Begitu besar perhatian Islam terhadap minat baca pada umatnya, sehingga tercetus untuk mendokumentasikan ilmu-ilmu yang didapat di tempat yang kita kenal sekarang yaitu Perpustakaan, dan menyebarluaskan ilmu-ilmu tersebut khususnya melalui buku. Berdasarkan itu pula BKKBN sebagai Badan Pemerintah merasakan betapa pentingnya Perpustakaan, Perpustakaan BKKBN adalah contoh perpustakaan yang dimiliki salah satu badan milik pemerintah, sama halnya dengan perpustakaan dalam dunia pendidikan, perpustakaan di BKKBN ini pun mengharapkan setiap karyawan/karyawatinya dapat menambah wawasan dan mendapatkan informasi terkini setiap harinya melalui media cetak atau dalam web perpustakaan maupun web portal yaitu bkkbn.go.id yang sudah disiapkan, sehingga dapat meningkatkan sumber daya manusia di lingkungan BKKBN baik di pusat maupun di provinsi tentunya.

Perpustakaan BKKBN khusus menyediakan koleksi bahan informasi bidang keluarga berencana, kependudukan dan keluarga sejahtera yang dilayankan untuk para pengelola dan pelaksana program serta pengguna lain yang memerlukan. Koleksi bahan informasi tersebut dapat diperoleh di Perpustakaan BKKBN Pusat dan Perpustakaan BKKBN Provinsi di seluruh Indonesia. Perpustakaan BKKBN Pusat telah mengoleksi lebih dari 23.000 judul buku atau 38.000 buku, dari jumlah judul tersebut sudah 8.579 judul buku dapat diakses melalui web perpustakaan BKKBN pada portal bkkbn.go.id. Selain itu tersedia pula koleksi majalah dalam dan luar negeri, koleksi ephemera, dan kliping koran. Informasi tersebut dapat diakses dengan memilih menu sebagai berikut:
Penelusuran koleksi, fasilitas yang membantu para pengunjung untuk mencari judul buku, nama pengarang, atau penerbit yang dibutuhkan; Informasi buku baru, informasi tentang buku-buku baru yang tersedia di Perpustakaan BKKBN yang dilengkapi dengan uraian singkat isi buku (abstrak); Artikel, menyajikan informasi berupa artikel bidang keluarga berencana, kependudukan, dan keluarga sejahtera yang disajikan oleh para ahli, praktisi dan pemerhati di bidang keluarga berencana; Download full text, tekstual buku tertentu, khususnya terbitan BKKBN yang dapat dilayankan kepada para pengguna yang membutuhkan. Program ini dalam waktu dekat akan dapat dimanfaatkan oleh para pengguna yang memerlukan.

Perpustakaan BKKBN sudah berbasis Teknologi Informasi dari tahun 2005 begitu pula di BKKBN provinsi-provinsi besar di Indonesia, tentunya diharapkan untuk provinsi-provinsi yang lain pun segera membuat perpustakaannya berbasis Teknologi Informasi, karena pada era globalisasi ini perkembangan teknologi sangat pesat dan sangat menolong memudahkan bagi yang membutuhkan informasi, dengan mengakses ke web perpustakaan akan mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Layanan Perpustakaan Berbasis Teknologi Informas

Arif Surachman[1]
Perpustakaan Universitas Gadjah Mada
arifs@ugm.ac

Pengantar
Perpustakaan pada dewasa ini telah berkembang sedemikian pesatnya. Perkembangan perpustakaan dalam beberapa dasawarsa ini telah banyak dipengaruhi oleh perkembangan TI. Perpustakaan sebagai salah satu “aktor” yang berperan dalam pengumpulan, pengolahan dan pendistribusian informasi mau tidak mau harus berhadapan dengan apa yang dinamakan TI ini. Tidak sedikit orang yang beranggapan bahwa tanpa adanya sentuhan TI, perpustakaan dianggap sebagai sebuah instutisi yang ketinggalan jaman, kuno dan tidak berkembang.

TI di perpustakaan sering menjadi tolak ukur kemajuan dan modernisasi dari sebuah perpustakaan. Hal ini tentu tidak bisa dipungkiri mengingat tuntutan masyarakat yang memang sudah “ngeh” dengan segala macam bentuk TI. Gejala dan permasalahan serta fenomena inilah yang membawa dampak kepada apa yang disebut dengan Layanan Perpustakaan Berbasis TI. Tentunya ini dengan harapan bahwa apa yang menjadi pertanyaan banyak orang mengenai sentuhan TI di perpustakaan sedikit terjawab melalui layanan berbasis TI ini.

Namun demikian, kiranya perlu ditelusur lebih jauh berbagai hal mengenai penerapan pelayanan perpustakaan yang berbasis TI ini.

Kepentingan Institusi VS Kepentingan Pengguna
Pengembangan TI di sebuah perpustakaan sebenarnya merupakan wujud dari berbagai kepentingan. Kepentingan ini yang mendorong perpustakaan untuk melakukan modernisasi pelayanan dan menerapkan TI dalam aktifitas kesehariannya. Tuntutan kepentingan-kepentingan yang sedemikian besar ini seakan menjadikan “cambuk” bagi perpustakaan untuk berbenah dan selalu berpikir untuk dapat memberikan yang terbaik melalui fasilitas TI ini.

Berdasarkan pengamatan, sebenarnya kepentingan ini secara garis besar dapat dibedakan menjadi dua yakni kepentingan institusi dan kepentingan pengguna perpustakaan. Dalam kasus perpustakaan di lingkungan perguruan tinggi, institusi yang dimaksud adalah perpustakaan itu sendiri dan universitas sebagai lembaga yang menaungi perpustakaan. Sedangkan pengguna perpustakaan yang dimaksud adalah sivitas akademika di lingkungan perguruan tinggi yakni mahasiswa, dosen, peneliti dan karyawan. Perkembangan perpustakaan banyak dipengaruhi oleh visi dan misi yang di lembaga induknya. Sehingga apapun yang akan diterapkan dan dikembangkan oleh perpustakaan harus disesuaikan dengan tujuan organisasi atau institusi itu sendiri. Hanya terkadang apa yang menjadi kepentingan institusi sepertinya “belum berpihak” banyak kepada kepentingan pengguna. Belum lagi masalah prioritas, perpustakaan masih merupakan prioritas kesekian bagi lembaga induknya dalam hal pendanaan dan pengembangan.

Perkembangan perpustakaan dilihat dari kepentingan pengguna dirasakan belum menggembirakan. Masih banyak “tuntutan” pengguna yang belum dapat dipenuhi oleh perpustakaan, termasuk tersedianya akses layanan berbasis TI ini. Untuk itu perlu kiranya dipikirkan sebuah sinergitas yang mengakomodasi kedua kepentingan tersebut sehingga terjadi keseimbangan dalam pemenuhan kebutuhan tersebut. Perpustakaan, Universitas dan Pengguna perlu berjalan bersama untuk memikirkan sebuah perpustakaan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan dapat memberikan pelayanan yang terbaik.

Implementasi TI dalam Pelayanan Perpustakaan

Teknologi dalam hal ini TI bukan merupakan hal yang murah. Untuk itu apabila perpustakaan ingin mengimplementasikan TI dalam layanan dan aktifitasnya perlu direncanakan secara matang. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak ada kesia-siaan dalam perencanaan dan pengembangan yang berakibat pula pada pemborosan waktu, tenaga, pikiran dan keuangan. Ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dan




dipertimbangkan dalam rangka penerapan TI pada perpustakaan, yakni:
� Dukungan Top Manajemen / Lembaga Induk

� Kesinambungan / Kontinuitas

� Perawatan dan Pemeliharaan

� Sumber Daya Manusia

� Infrastruktur Lainnya seperti Listrik, Ruang/Gedung, Furniture, Interior Design, Jaringan Komputer, dsbnya.

� Pengguna Perpustakaan seperti faktor kebutuhan, kenyamanan, pendidikan pengguna, kondisi pengguna, dll

Hal-hal tersebut diatas akan menentukan sejauh mana penerapan TI di perpustakaan khususnya di layanan perpustakaan dapat berjalan dengan baik.

Penerapan TI dalam bidang layanan perpustakaan ini dapat dilihat dari beberapa hal seperti:

Layanan Sirkulasi
Penerapan TI dalam bidang layanan sirkulasi dapat meliputi banyak hal diantaranya adalah layanan peminjaman dan pengembalian, statistik pengguna, administrasi keanggotaan, dll. Selain itu dapat juga dilakukan silang layan antar perpustakaan yang lebih mudah dilakukan apabila teknologi informasi sudah menjadi bagian dari layanan sirkulasi ini. Teknologi saat ini sudah memungkinkan adanya self-services dalam layanan sirkulasi melalui fasilitas barcoding dan RFID (Radio Frequency Identification). Penerapan teknologi komunikasipun sudah mulai digunakan seperti penggunaan SMS, Faksimili dan Internet.

Layanan Referensi & Hasil-hasil Penelitian

Penerapan TI dalam layanan referensi dan hasil-hasil penelitian dapat dilihat dari tersedianya akses untuk menelusuri sumber-sumber referensi elektronik / digital dan bahan pustaka lainnya melalui kamus elektronik, direktori elektronik, peta elektronik, hasil penelitian dalam bentuk digital, dan lain-lain.


Layanan Journal / Majalah / Berkala

Pengguna layanan journal, majalah, berkala akan sangat terbantu apabila perpustakaan mampu menyediakan kemudahan dalam akses ke dalam journal-journal elektronik, baik itu yang diakses dari database lokal, global maupun yang tersedia dalam format Compact Disk dan Disket. Bahkan silang layan dan layanan penelusuran informasipun bisa dimanfaatkan oleh pengguna dengan bantuan teknologi informasi seperti internet.

Layanan Multimedia / Audio-Visual

Layanan multimedia / audio-visual yang dulu lebih dikenal sebagai layanan “non book material” adalah layanan yang secara langsung bersentuhan dengan TI. Pada layanan ini pengguna dapat memanfaatkan teknologi informasi dalam bentuk Kaset Video, Kaset Audio, MicroFilm, MicroFische, Compact Disk, Laser Disk, DVD, Home Movie, Home Theatre, dll. Layanan ini juga memungkinkan adanya media interaktif yang dapat dimanfaatkan pengguna untuk melakukan pembelajaran, dsbnya. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam layanan perpustakaan adalah pengguna yang mempunyai keterbatasan, seperti penglihatan yang kurang, buta, pendengaran yang kurang dan ketidakmampuan lainnya. Layanan Multimedia / Audio-Visual memungkinkan perpustakaan dapat memberikan pelayanan kepada para pengguna dengan kriteria ini. Sebagai contoh dari bentuk penerapan teknologi untuk itu adalah Audible E-books, Digital Audio Books, InfoEyes (Virtual Reference), Braille, dsbnya.

Layanan Internet & Computer Station

Internet saat ini menjadi “bintang” dalam TI. Orang sudah tidak asing lagi untuk menggunakan internet dalam kehidupannya. Untuk itu mau tidak mau perpustakaanpun harus dapat memberikan layanan melalui media ini. Melalui media web perpustakaan memberikan informasi dan layanan kepada penggunanya. Selain itu perpustakaan juga dapat menyediakan akses internet baik menggunakan computer station maupun WIFI / Access Point yang dapat digunakan pengguna sebagai bagian dari layanan yang diberikan oleh perpustakaan. Pustakawan dan perpustakaan juga bisa menggunakan fasiltas web-conferencing untuk memberikan layanan secara online kepada pengguna perpustakaan. Web-Conferencing ini dapat juga dimanfaatkan oleh bagian layanan informasi dan referensi. OPAC atau Online Catalog merupakan bagian penting dalam sebuah perpustakaan, untuk itu perpustakaan perlu menyediakan akses yang lebih luas baik itu melalui jaringan lokal, intranet maupun internet.

Keamanan

Teknologi informasi juga dapat digunakan sebagai alat untuk memberikan kenyamanan dan keamanan dalam perpustakaan. Melalui fasilitas semacam gate keeper, security gate, CCTV dan lain sebagainya, perpustakaan dapat meningkatkan keamanan dalam perpustakaan dari tangan-tangan jahil yang tidak asing sering terjadi dimanapun.
Pengadaan

Bagian Pengadaan juga sangat terbantu dengan adanya teknologi informasi ini. Selain dapat menggunakan TI untuk melakukan penelusuran koleksi-koleksi perpustakaan yang dibutuhkan, bagian ini juga dapat memanfaatkannya untuk menampung berbagai ide dan usulan kebutuhan perpustakaan oleh pengguna. Kerjasama pengadaan juga lebih mudah dilakukan dengan adanya TI ini.
Implementasi TI dalam layanan perpustakaan dari waktu ke waktu akan terus berkembang baik itu untuk keperluan automasi perpustakaan maupun penyediaan media / bahan pustaka berbasis TI ini.
Perpustakaan “Hybrid”
Sebetulnya ketika orang berbicara mengenai penerapan TI dalam perpustakaan atau khususnya layanan perpustakaan orang akan berbicara juga mengenai transformasi perpustakaan tradisional menuju perpustakaan digital, perpustakaan elektronik, atau perpustakaan virtual. Namun berdasarkan pengamatan penulis dari sekian banyak konsep yang berkembang tersebut sebetulnya saat ini konsep yang berkembang cukup pas dan mungkin dalam beberapa dasawarsa ke depan masih relevan adalah apa yang dinamakan dengan Perpustakaan Hybrid. Pengertian perpustakaan Hybrid ini sendiri adalah seperti yang dikemukakan oleh Angelina Hutton dalam the Hybrid Library.
“A hybrid library is a library where 'new' electronic information resources and 'traditional' hardcopy resources co-exist and are brought together in an integrated information service, accessed via electronic gateways available both on-site, like a traditional library, and remotely via the Internet or local computer networks.” (http://hylife.unn.ac.uk/toolkit/The_hybrid_library.html diakses 19 Oktober 2005)
Atau seperti yang disampaikan Stephen Pinfiel:
“A hybrid library is not just a traditional library (only containing paper-based resources) or just a virtual library (only containing electronic resources), but somewhere between the two. It is a library which brings together a range of different information sources, printed and electronic, local and remote, in a seamless way.”
(http://www.ariadne.ac.uk/issue18/main/ diakses tanggal 19 Oktober 2005)
Dari pengertian di atas dapat dilihat bahwa layanan perpustakaan berbasis TI sangat dekat dengan konsep perpustakaan Hybrid ini. Walaupun sebetulnya perpustakaan hybrid ini adalah merupakan bentuk peralihan dari perpustakaan tradisional menuju perpustakaan digital / virtual. Jadi tidak ada salahnya apabila kita berbicara mengenai layanan berbasis TI kita juga perlu mempelajari masalah perpustakaan Hybrid ini.


Penutup
Dari kajian singkat di atas dapat dilihat bahwa layanan perpustakaan berbasis TI dapat diterapkan di semua bagian perpustakaan. Itu semua tergantung bagaimana dan apa kebutuhan pengguna dan juga perpustakaan. Proses pengembangan perpustakaan berbasis TI ini harus memperhatikan kepentingan pengguna dan juga kepentingan institusi / organisasi induk yang menaunginya. Tak kalah pentingnya adalah faktor kemampuan finansial dari perpustakaan / lembaga induk untuk menerapkan TI dalam layanan perpustakaan ini. Karena TI memang bukan barang “murah” dan perlu investasi yang cukup “mahal”. Namun demikian, penggunaan TI dalam bidang layanan perpustakaan ini memang sudah merupakan kebutuhan yang tidak bisa dihindarkan lagi, sehingga perpustakaan perlu melakukan kajian prioritas kebutuhan TI untuk perpustakaannya.

Arti Penting Si Gudang Ilmu

October 2, 2007 · 1 Comment

Saya baru saja liputan Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat. Agenda kala itu menyetujui Rancangan Undang-Undang tentang Perpustakaan menjadi Undang-Undang.

Saya otomatis terngiang pada salah satu episode film kartun Aang The Last Airbender Book 2 (Earth), yang berjudul The Library. Dalam seri itu, diceritakanlah ada sebuah perpustakaan terlengkap yang terletak di sebuah gurun pasir. Sayang, perpustakaan tersebut lambat laun tenggelam tertelan pasir. Rupanya, si burung hantu penunggu gudang buku tersebut tak rela jika ilmu pengetahuan disalahgunakan.

Suatu saat bangsa api (fire nation) menggunakan ilmu yang tersimpan dari berbagai buku tersebut untuk menganeksasi suku air (water tribe), kerajaan bumi (earth kingdom), serta pengembara udara (air nomad).

Karena itulah, Burung Hantu menenggelamkan perpustakaan tersebut agar tidak terbaca lagi selamanya oleh manusia jahil bin jahat. Sebelum tuntas tenggelam, Aang dan kawan-kawan menilik ke dalam ruangan yang luas berisi berjuta buku. Sokka, kakak Katara si pengendali air (waterbender) berusaha mencari cara menemukan rahasia kelemahan bangsa api. Berhasillah, Sokka mengetahuinya, titik lemah pengendali api (firebender) di kala gerhana matahari. Sokka ingin menyebarkan rahasia itu kepada para pengendali bumi dan air supaya bisa menangkis serangan pengendali api.

Marahlah si manuk beluk (bahasa Jawanya burung hantu) dan tanpa maaf lagi dia kubur perpustakaan tersebut bersama dirinya sendiri. Begitu pentingnya ilmu, hingga dia bermata dua: sebagai pembangun peradaban dan peruntuh peradaban.

Namun seharusnya ilmu pengetahuan harus digunakan demi kebaikan manusia itu sendiri dan untuk beribadah. Laksana firman pertama Tuhan yang diturunkan kepada Muhammad: Iqra’ (artinya: bacalah). Ahhh, makin rumit mengingat banyak anak yang putus sekolah. Biaya sekolah mahal sih…

Arti Penting Perpustakaan

Kategori: Esai Bahasa Indonesia » Dilihat: 1.307 kali » Diposting: 29-01-2008

Oleh Ajip Rosidi

Sudah lama disinyalir bahwa pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah sekarang terlalu dititikberatkan kepada pengetahuan bahasa dan kurang sekali pada kemampuan berbahasa. Anak-anak sejak SD telah berkenalan dengan istilah-istilah subjek, predikat, verba, ajektif, dll. dan diharuskan menghapal apa artinya. Tetapi mereka tidak dilatih untuk menyusun kalimat yang baik. Mereka juga tidak dilatih untuk menuliskan kata-kata secara tepat, karena pelajaran dikté (imla’) nampaknya hanya dianggap membuang waktu saja. Celakanya, anak didik juga sedikit sekali diberi kesempatan untuk bertemu dengan kalimat yang bisa dijadikan contoh, karena mereka sedikit sekali mendapat kesempatan untuk membaca buku-buku yang bagus, terutama karya-karya sastera.

Harusnya perpustakaan sekolah (dan perpustakaan umum juga), terutama mempunyai koleksi karya-karya sastera yang sudah menjadi kanon dalam sejarah sastera Indonesia. Artinya karya-karya sastera demikian harus tersedia dalam setiap perpustakaan. Karya-karya sastera nasional kita harus dikenal dan dibaca oleh semua anak didik kita di seluruh penjuru tanahair, tidak peduli kelak dia menjadi apa setelah dewasa dan terjun ke masyarakat..

Namun hal seperti itu barulah keinginan. Kalau kita teliti perpustakaan sekolah, sering tidak mempunyai koleksi karya-karya sastera nasional kita yang utama. Sebagian isinya malah karya-karya pop baik asli maupun terjemahan. Orang yang mengelola perpustakaannya sering tidak mengikuti perkembangan sastera nasional. Dikiranya karya yang populer, yang banyak disebut-sebut, adalah buku yang harus dimasukkan ke dalam koleksinya. Pengasuh perpustakaan sekolah harusnya mengikuti perbincangan tentang buku, terutama tentang buku-buku sastera. Meskipun koleksi perpustakaan umum harus juga terdiri dari berbagai bidang pengetahuan, bukan hanya sastera saja, namun sudahlah menjadi keharusan bahwa karya sastera dalam perpustakaan umum menjadi koleksi yang utama, yang jumlahnya terbanyak.

Belakangan ini, atas desakan dan usaha kelompok majalah Horison yang dipimpin oleh penyair Taufiq Ismail, karya-karya sastera nasional secara berencana dijadikan koleksi perpustakaan sekolah, terutama untuk SMP dan SMA. Setiap tahun Departemen Diknas (dahulu P dan K) membeli sejumlah buku karya sastera yang judul-judulnya telah dipilih oleh Tim yang terdiri dari para ahli sastera dan para sasterawan. Tetapi jumlah judul yang dibeli itu sangat terbatas, tidak akan memenuhi kebutuhan pengenalan para anak didik terhadap sastera nasionalnya. Mendatangkan sasterawan untuk berbicara di depan anak didik tentu saja bagus, tetapi yang lebih bagus ialah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada anak didik untuk membaca karya sasteranya, bukan bertemu dengan sasterawannya.

Buku-buku bahasa Sunda

Kalau keadaan perpustakaan kita masih jauh dari ideal koleksi karya sastera nasionalnya, bagaimana dengan koleksi karya sastera dalam bahasa daerahnya? Bagaimanakah koleksi buku bahasa Sunda dalam perpustakaan sekolah di Jawa Barat dan Banten sekarang? Bagaimana koleksi buku bahasa Jawa dalam perpustakaan sekolah di Jawa Tengah, Jawa Timur dan Yogyakarta?

Saya belum mengadakan penelitian mengenai hal itu. Dan setahu saya belum ada juga orang lain yang melakukannya. Tapi niscaya keadaannya lebih buruk daripada koleksi buku sastera nasionalnya. Hal itu dengan mudah kita simpulkan kalau kita memperhatikan jumlah buku dalam bahasa-bahasa daerah yang ada sekarang.

Dibandingkan dengan bahasa-bahasa daerah yang lain (terutama bahasa Jawa dan bahasa Bali), penerbitan buku bahasa Sunda setiap tahunnya lebih banyak. Tetapi jumlahnya hanya belasan judul, paling banyak likuran judul saja. Buku bahasa Jawa dan bahasa Bali, biasanya setiap tahun hanya terbit di bawah sepuluh judul, walau kadang-kadang terbit juga belasan judul. Setiap judul dicetak hanya seribu atau dua ribu kopi. Itu pun tidak segera habis. Untuk menghabiskan 2.000 kopi saja diperlukan waktu beberapa tahun. Karya-karya sastera Sunda yang sudah menjadi klasik seperti karya-karya Moh. Ambri, R. Méméd Sastrahadiprawira, Juhana, Sjarief Amin, Ki Umbara, dll. ataupun karya baru yang memperoleh hadiah sastera seperti Rancagé, tidaklah segera habis di pasaran. Mengapa?

Karena buku-buku itu tidak dibeli oleh perpustakaan-perpustakaan sekolah. Pejabat yang duduk dalam lembaga pendidikan yang harus membeli buku-buku untuk mengisi perpustakaan, daripada membeli buku yang sudah terjamin mutunya, memilih membuat sendiri bukunya, sehingga dengan demikian anggaran yang tersedia tak usah dibagikan kepada pihak lain. Itulah sebabnya maka terbit buku macam Ranggeuyan Kadeudeuh dan buku tentang huruf Sunda Kuna yang ditulis oleh amatir yang tidak pernah membaca buku dan tidak tahu apa arti buku dalam masyarakat, karena yang dipikirkan dan diketahuinya hanyalah bagaimana mengatur supaya uang anggaran yang tersedia masuk ke saku antar mereka saja, jangan sampai keluar. Ketika ternyata perbuatan mereka itu diketahui dan diramaikan dalam pers, mereka bukan memperbaiki langkahnya, melainkan malah menghapuskan anggaran untuk pembelian buku pada tahun berikutnya. Alasannya takut dikritik lagi. Artinya daripada dikritik mereka memilih tidak menyediakan dana untuk membeli buku buat perpustakaan – yang menunjukkan bahwa mereka tidak mengerti fungsi buku dan tidak tahu arti penting perpustakaan dalam masyarakat. Dan “kebijaksanaan” itu tidak menjadi perhatian para wakil rakyat di DPRD Jawa Barat. Para wakil rakyat dengan mudah mengesahkan rencana anggaran yang diajukan, mungkin karena mereka tidak tahu dan tidak mengerti apa arti buku bagi pendidikan, yang hanya menunjukkan betapa dangkalnya visi para wakil rakyat kita, untuk tidak berburuk sangka bahwa matanya kelilipan oleh ranggeuyan kadeudeuh yang penuh dengan angka.

Perpustakaan sebagai fundasi perkembangan budaya

Meskipun sekarang ada internet yang menyediakan berbagai informasi, termasuk isi buku-buku yang terdapat di berbagai perpustakaan besar di seluruh dunia, namun perpustakaan masih diperlukan, baik di sekolah maupun di masyarakat. Di negara maju, kecuali terdapat di setiap sekolah, karena dianggap sebagai perlengkapan pendidikan yang tak boleh tidak ada, perpustakaan terdapat bukan saja di tingkat kota, melainkan juga di desa-desa, dengan koleksi buku yang jumlahnya puluhan ribu bahkan ratusan ribu judul. Tidak semua warganegara mampu membeli buku, karena itu pemerintah (daerah) menyediakan perpustakaan. Karena orang umumnya bekerja pada siang hari, maka perpustakaan biasanya dibuka (juga) malam hari. Karena orang umumnya bekerja pada hari kerja (Senin—Kemis), maka perpustakaan sengaja dibuka pada hari Saptu dan Ahad. Tetapi di Indonesia perpustakaan hanya dibuka siang hari dan pada hari kerja, pada hari Saptu dan Ahad, tutup.

Karena itu tidaklah heran kalau perpustakaan-perpustakaan di Indonesia selalu lengang. Bukan karena jumlah orang yang gemar membaca sangat sedikit, melainkan waktu perpustakaan buka tidak cocok dengan waktu senggang orang. Apakah untuk membaca di perpustakaan orang harus bolos dari kerjanya? Apakah untuk leluasa membaca di perpustakaan orang harus menunggu pensiun dulu?

Kebijaksanaan waktu buka perpustakaan di Indonesia yang mulai diberlakukan pada jaman Orde Baru itu (dahulu perpustakaan di Indonesia juga buka malam hari dan hari Saptu-Ahad, Senin tutup) seperti sengaja dibuat supaya bangsa Indonesia tidak sempat memperluas kakilangit pandangan dan pengetahuannya dengan banyak membaca buku. Artinya kebijaksanaan itu dibuat untuk menghalangi orang membaca buku, agar tetap bodoh dan berpikiran sempit.

Perpustakaan dengan menyediakan buku untuk dibaca, maksudnya adalah membukakan kesempatan bagi setiap warganegara untuk maju dengan memperluas cakrawala pengetahuannya. Dengan mempunyai banyak warganegara yang berpandangan luas, maka bangsa kita akan menjadi bangsa yang bermutu. Dengan menyediakan buku-buku klasik karya bangsa kita sendiri maupun karya asing, baik dalam bahasa nasional maupun dalam bahasa daerah (Sunda), kita memberi kesempatan kepada warganegara untuk mengenal kekayaan ruhani bangsanya dan juga bangsa lain, artinya untuk mengenal kekayaan ruhani manusia dari seluruh dunia yang dihasilkan sepanjang sejarah. Bangsa yang banyak membaca, akan menjadi bangsa yang berbudaya dan dihargai dalam pergaulan internasional.***

Ujian Nasional dan langkah keledai

Oleh Ajip Rosidi

Setelah Ujian Nasional dilaksanakan, timbul berbagai berita tentang terjadinya kebocoran. Hal sebenarnya tidak usah mengherankan. Ujian Nasional pernah dilaksanakan pada tahun 1950-an selama bertahun-tahun dan setiap tahun terjadi kebocoran. Berbagai usaha telah dilakukan, antaranya dengan mengikutsertakan kepolisian pada pencetakan dan pengiriman bahan-bahan (soal-soal) ujian, namun kebocoran tetap terjadi. Apalagi sekarang sudah ada HP dan hasil teknologi canggih lainnya sehingga orang bisa saling kirim sms dll. Memang masalahnya berpangkal kepada mentalitas bangsa kita sendiri.

Pertama mentalitas para pelajar yang bercermin pada kehidupan nyata yang menganggap bahwa hidupnya tergantung pada selembar kertas yang disebut ijazah. Kalau mengantongi ijazah mereka berpendapat bahwa mereka bisa menjadi pegawai negeri dan kedudukan-kedudukan terhormat lain dalam masyarakat. Lembaga-lembaga dalam masyakarat kita belum terbiasa menilai kemampuan seseorang dari prestasinya. Karena untuk menilai prestasi seseorang diperlukan kriteria yang tidak dimiliki oleh berbagai lembaga kita dalam masyarakat. Untuk ambil gampang dijadikanlah ijazah sebagai jaminan akan kemampuan seseorang.

Karena itulah orang mencari jalan pintas. Kalau ijazah yang dijadikan ukuran, maka diusahakanlah untuk memperoleh ijazah, bagaimana pun juga caranya. Salah satu cara, ialah dengan memperoleh soal-soal ujian sebelum waktunya, sehingga dia bisa mempelajarinya lebih dahulu dan waktu ujian bisa menjawabnya dengan mudah (cara lain ialah jalan yang lebih pendek: membeli ijazah sehingga lahir istilah ijazah “aspal”). Untuk mencapai hal itu dilakukanlah berbagai “pendekatan” kepada petugas-petugas yang bertalian dengan itu—dengan berbagai cara, salah satunya dengan menyogok dengan uang atau yang lain. Orang sudah terbiasa menggantungkan hidupnya kepada ijazah, tidak menganggap penting akan prestasi pribadi. Apalagi dalam kenyataan hidup di masyarakat, prestasi tidak selalu mendapat penghargaan yang wajar. Kecuali ijazah formal, relasi pribadi dengan penguasa pun ikut menentukan. Orang yang mempunyai prestasi tersingkirkan, sedang orang yang dekat dengan pejabat diangkat dihormat-hormat.

Yang kedua, mentalitas para pejabat kita yang mudah sekali tergiur oleh berbagai iming-iming – terutama uang – yang diberikan oleh orang yang berkepentingan. Mereka tidak mempunyai rasa tanggungjawab atas tugasnya, karena masyarakat kita tidak memberikan jaminan keamanan hari depan. Orang cenderung untuk menangkap iming-iming yang datang hari ini, karena besok dia tidak tahu apakah akan mendapat kesempatan seperti itu lagi. Di samping itu, sudah berkembang anggapan bahwa kedudukan itu adalah tempat untuk memperoleh pendapatan sampingan, karena gaji saja (dianggap) tidak cukup. Lagi pula dia pun harus mengumpulkan uang untuk memperoleh kembali uang yang telah dia keluarkan ketika dia berusaha untuk memperoleh kedudukannya itu. Bukan hanya jabatan politik yang memerlukan uang buat kampanye dan lain-lain, tetapi jabatan apa pun dalam negara kita dapat dicapai dengan cara menyediakan uang yang diminta oleh lembaga yang akan dimasukinya. Berita-berita tentang adanya orang yang “kejeblos” karena telah memberikan uang kepada orang yang mengaku akan bisa memasukkannya menjadi pegawai, polisi atau jabatan lainnya, tapi ternyata orang yang diberinya uang itu hanyalah penipu, dapat dijadikan bukti bahwa dalam masyarakat telah berkembang pengetahuan yang diyakini kebenarannya oleh orang banyak yang menyatakan bahwa untuk mendapat sesuatu jabatan atau kedudukan haruslah memberikan uang. Seorang tukang yang bekerja pada saya waktu saya membuat rumah, pernah meminta pinjamaan uang karena ia hendak memasukkan anaknya menjadi polisi dan untuk itu dia memerlukan uang Rp. 40 juta buat “disetorkan” . Tanpa uang itu jangan harap anaknya akan menjadi polisi.

Dengan mentalitas para pejabat dan pegawai kita seperti itu, maka kebocoran ujian nasional yang akan menyebabkan seseorang memperoleh ijazah yang akan membukakan pintu menjadi pegawai yang akan menjamin hidupnya selanjutnya – dan setelah pensiun akan memperoleh uang pensiun – merupakan keniscayaan.

Maka yang mengherankan ialah bahwa pemerintah setelah pengalaman nyata pada tahun 1950-an, sekarang menghidupkan kembali Ujian Naisonal. Kata peribahasa, keledai tidak pernah terjerumus pada lubang yang sama. Tetapi para pejabat kita bukan keledai, karena itu sering terperosok pada lubang yang itu-itu juga.

Hal itu bisa disebabkan karena beberapa hal. Pertama karena ingatan kita pandak dan dokumentasi kita berantakan – atau tidak punya dokumentasi sama sekali. Kedua, kita tidak mempunyai kesadaran sejarah. Bahkan kita tidak tahu sejarah sama sekali. Sejarah dianggap masa lalu yang tidak punya arti buat masa kini apalagi untuk masa depan. Ketiga, kita hanya coba-coba saja. Terutama dalam bidang pendidikan, main-main dengan coba-coba itu sudah sering terjadi. Terutama coba-coba dengan buku ajar yang sekali main coba-coba menghasilkan jumlah uang tidak sedikit kepada para pejabat yang bersangkutan. Tetapi pernah juga coba-coba dengan sistim global pada pelajaran membaca dan menulis. Pada tahun 1950-an, ketika angkatan pertama para pelajar kita yang dikirimkan atas progam Kolombo (Colombo Plan) ke negara-negara Anglosakson, pulang kembali dengan gagasan bahwa sistim mengeja buat anak-anak yang belajar membaca itu tidak tepat. Sistim mengeja sudah dilaksanakan di sekolah-sekolah kita sejak masa penjajahan Belanda – yang memang sesuai dengan sistim pendidikan di negeri Belanda. Tetapi orang yang baru pulang dari negara Anglosakson ini menganggap sistim mengeja itu salah. Yang tepat ialah sistim global dengan dasar falsafah: kalau kita melihat keretaapi maka yang pertama kita lihat ialah rangkaian gerbong, bukan gerbongnya satu demi satu. Demikian juga kalau kiat melihat kata-kata, kita melihat kesatuan rangkaian huruf-huruf yang membangun kata-kata itu, bukan huruf-hurufnya satu demi satu. Ketika sistim itu dilaksanakan, maka setelah duduk di kelas tiga anak-anak SD belum juga bisa membaca. Kekeliruannya ialah bahwa bahasa Indonesia (dan juga bahasa-bahasa daerah di Indonesia) mempunyai sifat yang lain dengan bahasa Inggris. Dalam bahasa Inggris huruf-huruf sering dibunyikan berlain-lainan tergantung kepada huruf yang ada di depan atau di belakangnya. Bahkan sebenarnya setiap kata Inggris mestilah dihafalkan cara menulisnya secara keseluruhan, karena itu di negara-negara Anglosakson ada mata pelaharan mengeja (spelling). Sebaliknya dalam bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daérah di Indonesia, setiap huruf dibaca dengan bunyi yang sama di mana pun tempatnya dalam kata. Maka sebenarnya mengajar membaca dengan sistim mengeja adalah yang paling tepat buat bahasa Indonesia dan bahasa-bahasa daerah yang ada di Indonesia. Di samping itu sistim global memerlukan buku yang banyak di perpustakaan agar anak-anak dapat bertemu dengan “gerbong-gerbong” kata sesering mungkin. Padahal pada waktu itu (bahkan sekarang juga), industri perbukuan di Indonesia sangat mengenaskan dan sekolah-sekolah tidak mempunyai perpustakaan yang memadai — kalaupun mempunyai perpustakaan.

Kalau kita merasa tidak lebih bodoh dari keledai, tak usahlah dipertahankan mengadakan Ujian Nasional yang dahulu pernah kita laksanakan dan ternyata gagal. Ujian Nasional dimaksudkan antara lain agar lulusan sekolah tingkat tertentu di seluruh Indonesia mempunyai kepandaian yang setara. Tetapi hal itu mustahil selama pemerataan di seluruh tanahair baru menjadi angan-angan. Akan lebih bijaksana kalau setiap sekolah dibebaskan untuk menentukan sendiri kurikulumnya sesuai dengan lingkungan dan budaya sekitarnya. Tetapkan sesedikit mungkin pelajaran yang harus diajarkan di seluruh sekolah, misalnya bahasa dan sastera Indonesia, sejarah dan ilmu bumi Indonesia, dan satu dua mata pelajaran lain. Yang selainnya serahkanlah kepada sekolah masing-masing atau daerah masing-masing untuk memilih mata peajaran yang cocok dengan lingkungan dan budaya setempat.

Prestasi masing-masing lulusanlah yang akan mengangkat nama sekolah-sekolah itu. Sekolah yang menghasilkan murid-murid yang prestasinya menonjol niscaya akan menjadi sekolah terkemuka. Dengan demikian akan terjadi perlombaan di antara sekolah-sekolah itu untuk menghasilkan murid-murid yang berprestasi dari masing-masing sekolah. Bukan prestasi berupa prosentasi kelulusan dalam ujian nasional yang dikejar, melainkan prestasi lulusannya masing-masing dalam masyarakat.

Kebijaksanaan demikian niscaya sesuai dengan tujuan pendidikan yang sehat dan sesuai pula dengan tujuan Otonomi Daerah.***
1 Komentar untuk entri Arti Penting Per

Rabu, 20 Januari 2010

PERPUSTAKAAN DESA, PARADIGMA BARU MEMBAGUN DESA

Lombok Post, 21 Januari 2010

Bupati Lombok barat (Lobar), H. Zaini Arony mengemukakan, berbicara masalah perpustakaan, tentu tak lepas dari persoalan koleksi buku, bahkan perpustakaan merupakan paradigma baru dalam upaya membangun desa. memang, pada setiap sambutan formilnya, bupati zaini selalu mengungkapkan bahwa, daerah Lobar pendekatan pembangunannya memang diawali dari desa. karenannya, menyangkut angaran desa, pihaknya tidak banyak memberikan komentar, tetapi selalu disetujui. hal tersebut dikemukakan ketika digelarnya louncing 88 perpustakaan desa se LObar di desa kediri beberapa waktu lalu.
Tahun 2010 ini, menurut Zaini, paradigma baru dalam upaya membangun desa adalah pemberdayaan masyarakat desa. Pemberdayaan masyarakat tersebut, salah satunya adalah diluncurkannya perpustakaan desa bagi 88 desa di Kabupaten Lobar. Gelaran yang bertajuk "membaca cara pintar buat pintar" ini disponsori oleh Kantor Perpustakaan Daerah Lombok Barat serta dihadiri Muspika Kediri, toga, toma, pimpinan SKPD, Camat serta sejumlah Kepala Desa.
Menurut pandangan Zaini, perpustakaan dan koleksi buku sebenarnya memiliki empat fungsi. Fungsi tersebut meliputi fungsi edukasi, transformasi, sosialisasi dan fungsi informasi. Empat fungsi inilah yang diperankan oleg guru, tokog, instruktur selama kegiatan pembelajaran tatap muka dilaksanakan. Jika ada tatap muka, kata Dia, ilmu yang dimiliki oleh pelaku peran tadi, akan bisa disampaikan kepada audiens atau masyarakat umum. Fungsi edukasi pada perpustakan atau buku itu sangat penting yaitu fungsi pendidikannya.
Didalam fungsi edukasi ini juga, ada terkait dengan fungsi pembelajaran yakni berbagai macam ilmu pengetahuan yang diperoleh. Bahkan pelajaran yang didapati oleh agama islam, yakni suatu perintah 'membaca'.
Tetapi ada rasa pesimis dalam dirinya, karena menurut data yang dimiliki dan dipelajari bahwa, tingkat budaya baca masyarakat Lobar masih sangatlah rendah. "jadi, transisi dari budaya tutur ke budaya baca, ke budaya tulis, itu masih sangat jauh," lanjutnya.
Bahkan budaya tersebut dibuktikannya ketika masih dalam lingkup Dikpora. Suatu ketika, pernah melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke sejumlah perpustakaan SMA. Di sebuah kabupaten di NTB ini, rasa minat baca disekolah tersebut sekitar 20-23 persen dari jumlah siswa. Dan hanya 17 persen saja yang membaca atau meminjam buku di perpustakan dari jumlah guru yang ada. Kondisi ini ditemukan pada saat Zaini menjabat Kepala Dikpora NTB "saya tidak tahu di Pondok Pesantren, kondisi ini apakah m,eningkat atau turun," singgungnya di hadapan TGH. Sofwan Hakim.
Ironisnya lagi, dari seluruh koleksi buku perpustakaan, yang rata-rata paling senang dibaca adalah bacaan fiksi. Buku-buku non fiksi justru kurang diminati. Menurut Zaini ini merupakan suatu kenyataan. Padahal umat Islam memiliki ajaran perintah 'membaca. Dari sisi pengertian umum, membaca merupakan sebuah alam semesta. Sehingga budaya membaca dan tulis menulis masih kurang, apalagi perubahan dari program lama yaitu Sarjana muda ke Sarjana (S1), tidak selalu ditekankan bagaimana merealisasi budaya tulis menulis, maka masyarakat bertambah malas.
Melihat hal ini, disarankan kepada seluruh kepala desa (Kades) serta Kepala Perpustakaan Lobar selaku penanggung jawab perpustakaan desa supaya perlu sekali waktu mengadakan semacam lomba resensi buku 'coba dikembangkan lomba resensi atau resume sebuah buku' harapnya. Alasannya, supaya jangan taman bacaan masyarakat atau perpustakaan yang di launcing saat ini akan menjadi tempat penumpukan buku (TMB). Sebab jika banyak buku lalu kemudian tidak dibaca, ini suatu kerugian besar. JKadi idealnya, fungsi pertama (edukasi) dan fungsi transformasi atau suatu perubahan harus dilaksanakan. 'Jika fungsi edukasi tidak dilakukan maka fungsi transformasi atau perubahan tidak akan terjadi,' katanya.
Fungsi berikut dari perpustakaan adalah, sosialisasi. Ini merupakan penyampaian pesan untuk suatu masalah kebudayaan. Jika pada fungsi transformasi atau perubahan, maka pada saat membaca, maka dalam perilaku dan pengetahuanterjadi suatu perubahan.
Dalam fungsi sosialisasi, menurut Zaini, merupakan suatu sikap. 'Kalau kita sudah bisa hidup bersih, ini akan menjadi sebuah sikap,' katanya sembari menyinggung apa yang dikemukakan Kepala Kantor Perpustakaan Daerah LObar, H. Baihaqi, SP,i;M.Pd;MM bahwa, merupakan suatu yang luar biasa jika budaya membaca menjadi kebutuhan. 'Sebagaimana halnya kita butuh makan dan minum,' ungkapnya sembari berharap, minimal membaca bahan bacaan apa saja, yang penting berguna. Karena pada tahap ketiga inilah, budaya baca itu bisa dihidupkan. 'Jangan sampai kita louncing perpustakaan desa dengan tema, membaca cara pintar buat pintar namun tidak pintar-pintar juga,' kritiknya.
Fungsi berikutnya adalah informasi. Fungsi informasi pada bahan bacaan atau perpustakaan merupakan suatu informasi. Dengan keempat fungsi tersebut, Zaini memohon kepada seluruh Kades se Lobar pada tahun 2010 ini, dimungkinkan dana desa bisa digunakan untuk membeli dfan menambah koleksi buku. Karena anggaran dana desa (ADD) telah dinaikkan, maka untuk pembelian koleksi buku diperbolehkan disisihkan untuk itu. Alasannya, karena tidak mungkin secara serentak, Pemda melalui Kantor Perpustakaan Lobar akan memberikan koleksi buku secara serentak.
Tapi jangn beli buku yang tidak berguna. pinta Zaini. Melainkan diharapkan membeli buku yang praktis dan pragmatis, semisal bagaimana berternak ayam guras, menternak ikan lele. Dalam buku ini ilmu yang praktis dapat diterapkan dan juga insan sifatnya. Selain itu juga supaya membeli buku-buku praktis menyangkut dunia kesehatan masyarakat.
Ini penting dalam mengisi perpustakaan supaya tidak kering, sembari meminta kepada Kakan supaya tidak mengirim buku-buku yang terlalu ilmiah. Tapi yang diinginkan dalam level yang lebih praktis.
Lebih lanjut diungkapkan Zaini, perpustakaan merupakan hal yang strategis untuk dikembangkan dalam rangka membangun ilmu pengetahuan masyarakat desa. Karena dianggap suatu hal yang penting, dengan begitu, Zaini meminta kehadiran semua pihak.
Jangan hari ini kita meloncing, tapi besok lusa tak ada maknanya, sebutnya usai mengabsen kehadiran Camat satu persatu (L. Pangkat Ali-PH Pranata Lobar).

Senin, 18 Januari 2010

Kisah Seru di Perpustakaan

Karya Pemenang Pertama Kisah Seru di Perpustakaan
Posted by Ida M on Mar 31, '09 11:05 PM for everyone

My Diary in the Library

Jakarta tak pernah terkantuk dan sejenak terhenti dari aktivitasnya. Itulah yang aku rasakan dari perjalanan hari-hari di kota besar ini. Hidup pun tak pernah mudah tuk sekedar mendapatkan kelayakan atau sedikit angin segar dari gersangnya bumi “Jayakarta”. Aku mahasiswi miskin yang tak pernah kompromi dengan keadaan dan harus selalu mengalah pada keras dan kasarnya wajah sang Kota Metropolitan.

Lulus kuliah di salah satu PT swasta, dengan perjuangan berat dan kucuran keringat, peluh, rasa lapar, bahkan air mata yang telah menjadi saripati hidup kunikmati dan coba kujalani dengan binar harapan akan hari depan yang lebih kuat. Sesosok gelap dan hitam yang bernama pengangguran hadir menyapa siap menghantui langkah para sarjana yang harus berperang dengan ijazahnya menembus dunia kerja tanpa pengalaman maupun orang dalam. Itulah saat sulit yang tanpa kusadari menjadi dilema tersendiri. Berijazah berarti harus bekerja. Pemerintah dengan berbagai kebijakannya ternyata menjadi tidak bijak dalam menyediakan lapangan kerja bagi para sarjana. Praktis banyak sarjana tak terlihat guna dan manfaat dari ilmu yang di raih dari bangku kuliah karena tak ada lagi ruang pekerjaan bagi mereka.

Aku, tak pernah berfikir untuk memasuki dunia diam dan tenang ini, dunia yang orang-orang tak banyak bicara, dan dunia orang-orang berkaca mata dengan sang teman yang bernama ”buku” atau dunia para mahasiswa kutu buku yang telah menyatu dengan nuansa sepi perpustakaan. Aku yang tak pernah sekalipun mengetahui tentang pekerjaan perpustakaan selain untuk meminjam atau mengembalikan buku. Tapi Allah rupanya ingin memperkenalkan dunia ini. Dunia indah dalam kesederhanananya, dunia ceria dalam ketenangannya, dan dunia ilmu dalam lembaran-lembaran wajah penghuninya yang tersimpan berbaris dalam rak-raknya. Meski dalam sejarahnya ia tak pernah menjadi primadona masyarakat ini yang hampir tak pernah mengunjunginya kecuali untuk tugas kuliah, paper, skripsi, dan makalah ilmiah lainnya. Ia belum mampu menjadi bintang utama dalam kehidupan manusia seperti Mall, atau pusat perbelanjaan lainnya. Ia pun belum menjadi kebanggaan masyarakat sehingga semua lapisan mereka dari berbagai usia dan status sosial bisa hadir dan berkarib dengannya. Semuanya berawal dari kegamanganku mencari tempat bekerja yang dengan itu kokohlah aku sebagai seorang sarjana, atau legitimasi untuk keluargaku bahwa sarjana akan selalu dicari dan menempati strata kaum istimewa dari yang lainnya.

Episode istimewa ini menjadi teramat istimewa karena aku mendapatkan kepercayaan dari almamaterku untuk mengelolanya untuk pertama kali. Warna pelangi dunia perpustakaan pun kureguk dan kunikmati.

Warna kebingungan, itulah yang pertama kali kutemui. Membisikkan keragu-raguan mampukah aku menegakkan bangunan yang telah dirintis sejak lama ini namun tak pernah hadir ketika ”teman para mahasiswa” membutuhkannya. Berbekal semangat dan tekad untuk memberikan kerja terbaikku dan berjuang sejauh kemampuanku, akhirnya aku mulai melangkah. Almamaterku sendiri memang baru merintis berbagai fasilitas kampusnya. Jadi, ku pikir semuanya harus dimulai dengan keyakinan bahwa kita mampu melaksanakannya dan mewujudkannya.

Meniti lereng bukit harapan...

Pagi yang cerah, kumulai memeriksa sahabat-sahabatku yang telah berdebu, sebagian bahkan warnanya menjadi kecoklatan dan berbau apek, terlalu lama tak tersentuh. Kuamati subjek-subjeknya yang tak beraturan memenuhi rak-raknya. Jumlah para sahabatku ini ternyata lumayan banyak juga namun ia seolah tak pernah terlihat oleh kami para mahasisiwa, kenapa ya? Oh! mungkin karena tampilannya yang telah kusut, berbau, bahkan dekil membuatnya tak pernah berarti sehingga tak disadari kehadirannya. Kusentuh dengan penuh cinta para sahabatku ini. Akan kupastikan mereka menjadi rapi, bersih, dan cantik dengan berbagai cover wajahnya yang beragam.

Yang pertama kali akan kulakukan adalah menyusun langkah kerja merunuti pekerjaan sebagai saorang pustakawan, dan di sinilah kesalahan pertama aku lakukan. Dengan semangat ”pejuang ‘45” aku mulai menyampul dan menempel kode buku pada punggung buku-buku tersebut dengan kode 100% aku karang dengan logika dan instingku saja. Aku terus bekerja seperti seorang alim yang tahu persis dan mengusai bidang pekerjaan tersebut padahal kenyataannya aku telah tersesat sejauh-jauhnya. Salah satu teman terbaikku menyarankan aku untuk belajar langsung pada seorang pustakawan untuk memastikan kalau pekerjaanku adalah benar dan telah sesuai dengan ilmunya. Praktis, setelah pekerjaanku mencapai setengahnya bahkan lebih dan aku baru ngeh, kalau aku bukan seorang pustakawan! Benarkah yang telah kukerjakan ini? Jika salah, bukankah aku telah menjadi makhluk paling jahil yang tersesat? Akhirnya aku dengan bantuan temanku mengunjungi salah satu kenalannya, seorang pustakawan lulusan UI yang kini bekerja di salah satu PT swasta di daerah Ciputat.

Dari Jakarta Selatan aku menabur harapan dan do’a di sepanjang jalan berharap ada ilmu baru yang bisa kuambil dan kuaplikasikan untuk perpustakaan. Aku berdecak kagum dan beberapa kali menggelengkan kepala setelah tahu pekerjaan mengarangku mendapat nilai 100 atas kesalahannya karena kebodohan dan kecerobohannya, ini menjadi pengalaman paling konyol dan bodoh sepanjang hidupku. Karena itu berarti aku harus mengulang pekerjaanku, semuanya dari awal, sungguh menakjubkan!!

Aku semakin terpaku begitu mengetahui dunia perpustakaan, hal-hal yang harus dikerjakan seorang Pustakawan. Dari mulai pemesanan buku, caranya, kemudian memilih buku-buku yang paling diminati dan dibutuhkan pengunjung perpustakaan, bagaimana mendapatkan buku-buku di luar spesialisasi lembaga di mana perpustakaan tersebut berada, atau sampai coding buku, klasifikasi, katalogisasi, yang ternyata banyak sistem yang di gunakan. Dewey Decimal Clasification, DDC adalah metode klasifikasi yang paling banyak di gunakan, akhirnya kupelajari metode klasifikasi ini. Beberapa kali kali aku mengunjungi berbagai perpustakaan di Jakarta, dari mulai perpustakaan UIN Syarif Hidayatullah, Iman Jama’, sampai perpustakaan Pemda Daerah Jakarta di Setia Budi. Tentu tak terlupa Perpustakaan Nasional di Salemba. Meski aku tahu begitu banyak perpustakaan di Jakarta namun aku harus bisa “memilih dan memilah” mana yang paling cocok untuk bisa kuterapkan di Perpustakaan almamaterku. Lelah, panas, bahkan peluh mengalir deras tak kurasakan, semakin takjub bahwa proyek pekerjaanku saat ini tak mudah.

”Pedoman Penyelanggaran Perpustakaan” penerbit Djambatan dengan cover sampul tempo dulu adalah buku pertama yang aku baca, dengan keadaan buku yang cukup miris karena hampir sobek dan lembar-lembar usang yang telah di makan usia. Meski demikian kubaca dengan seksama karena aku tahu ini adalah buku warisan dari generasi dulu yang wajib dibaca oleh setiap mereka yang ingin jadi pustakawan.

Aku pun mulai mengolah seluruh isi perpustakaan dengan langkah yang lengkap sesuai Ilmu Perpustakaan yang kudapatkan secara otodidak dan penuh keluguan di hadapan sang “disiplin ilmu” yang telah mendunia ini. Tapi semuanya terasa indah sekali...

Mendaki terjalnya bukit ...

Pelbagai masalah mulai muncul, ruangan perpustakaan yang terlalu kecil, kebersihan dan kedisiplinan mahasisiwa untuk tidak berkumpul dan bercerita di perpustakaan dan menjadikan perpustakaan area bersantai, bercanda, dan berkumpul membuatku kesulitan melaksanakan pekerjaan dengan tenang dan fokus. Belum lagi permasalahan tumpukan pekerjaan yang menuntut untuk diselesaikan. Rekan kerja di perpustakaan yang kurang optimal karena ia hanya bersifat membantu, dengan sallary yang kecil membuatnya enggan melakukan pekerjaan dengan sungguh-sungguh dan bertanggung jawab. Bayangkan dari mulai proses pemasukan data buku ke buku besar, klasifikasi, katalog, input buku ke komputer, penyampulan, serat pemilihan dan pemesanan buku baru semuanya dengan perjuangan berat dan begitu lelah. Bergumul dengan buku dari pagi sampai jam 5 sore, menjadi kerja keras tak terlupakan kemanisannya.

Di Puncak bukit ...

Akhirnya, sebagian besar buku telah kuproses, berita gembira mendatangiku, ada dana untuk membeli buku baru yang dari jumlahnya cukup besar. Inilah episode paling menarik dari kisah perjalanan hari-hariku di perpustakaan. Dengan itu aku jadi banyak tahu tentang buku-buku bagus yang kukumpulkan dari katalog-katalog penerbit, memilih dan memesan kemudian dengan tanganku sendiri buku-buku itu aku ambil dan kuletakkan sahabat-sahabat baruku ini di rak yang masih kosong berharap ada yang memasuki dan mengisinya. Meski seharian bahkan aku pulang sampai jam 9 malam, namun rasa puas melihat makhluk-makhluk baru yang sangat dinantikan kehadirannya oleh citvitas akademika almamaterku ini menghilangkan segalanya tergantikan oleh rasa bahagia tak bertepi dan tak terkatakan.

Perpustakaan kini sudah mulai menjelma menjadi sosok menarik yang mulai dilirik dan mulai mendapat perhatian para mahasisiwa. Kini, meski ia masih kecil dan masih terlalu sederhana namun ia telah menjadi sebuah ruang ajaib yang tenang, sejuk, dan yang terpenting ia telah menjadi simbol bangkitnya kebudayaan pengetahuan berbasis ilmiah di sudut kecil sebuah kota di bumi bagian Tenggara Asia ini.

Perjalanan pulang ...

Rupanya setahun sudah aku di sana. Perpustakaan. Aku mendapat panggilan mengajar di pulau Sumatera, meski telah ada kecintaan tersendiri pada dunia ini namun aku harus rela melepas dan meninggalkannya..

Kini ia menjadi saksi atas tumbuhnya semangat intelektualitas baru yang mulai hadir, menyeruak di dada para pemuda bangsa. Ia menanti estafeta perjuangan berikutnya yang memimpikan sentuhan kerja yang lebih keras, kreatif, dan inofatif dari insan bertanggung jawab dan memiliki kecintaan sepenuhnya bagi peradaban ilmu. Perjuangan di sana tak akan pernah usai.

Satu pelajaran amat berharga, bahwa benar pepatah yang mengatakan : ”buku ibarat subuah taman yang bisa kau bawa kemana-mana” di dalamnya kau bisa mendapatkan ketenangan, keteduhan, dan kesejukan. Bahwa buku adalah jendela dunia, bahwa buku akan selalu menjadi istimewa bagi mereka yang menginginkan perubahan dan perbaikan hidup lewat ilmu. Manusia tanpa ilmu adalah makhluk bodoh yang hanya akan merusak bumi dan ini tentu menjadi paradoks dari hakikat penciptaannya sebagai pemimpin di alam ini.

******

Penulis : Supi Amaliah / arrum_man@yahoo.com / 0857 6243 7584

2009: Gaza, Obama, Jilbab, Kubah Masjid dan Michael Jackson PDF | Print |

Apa yang ditinggalkan oleh tahun 2009 kemarin? Setidaknya ada lima hal besar yang menyita perhatian dunia internasional: Gaza, Obama, jilbab, kubah masjid dan Michael Jackson.



Awal Januari 2009, kita sudah disodori Gaza Under Attack. Ini tentang Palestina yang dijajah oleh Israel. Dan penyerangan Israel ke bumi Gaza merupakan sebuah titik balik pertama dalam beberapa tahun terakhir, karena sebelum itu, dunia tidak begitu memalingkan diri ke Palestina dengan sangat peduli. Semakin terbukanya internet menghabisi Israel, bahkan di negara-negara Eropa dan Amerika, paham anti-Semit atau orang yang membenci Yahudi semakin terbuka dan merebak.


Setelah itu, ada Muslim Uighur, penderitaan orang-orang Uighur, yang mendalam sebagai Muslim Xinjiang. Siapakah mereka? Apa impian mereka? Betapa keras diskriminasi yang mereka hadapi?

Di Iran, pada bulan Februari, tidak ada cara untuk melewatkan perayaan Revolusi Iran. Akan kembali dalam waktu 30 tahun, cakupan profil diaspora Iran, sejarah revolusi, dan negara status quo dari perspektif global.

Tentu saja, ketika berbicara tentang pemilihan dan perubahan di dunia panggung politik, orang menemukan Obama sebagai presiden AS yang sangat penting. Setelah pelantikan Obama, Amerika di bawah Obama, dengan fokus pada isu-isu umum seperti kesehatan, resesi ekonomi, dan rasisme. Dan jangan lupakan pula Afghanistan dan Talibannya.


Ada begitu banyak masalah kronis bagi rakyat Afghanistan: pemerintah korupsi, ketidakamanan, pengangguran, kemiskinan, dan lain-lain.

Pada hari Kamis, 25 Juni penggemar musik di seluruh dunia terkejut akan berita kematian mendadak Michael Jackson, ikon dan raja musik pop. Perdebatan memanas karena apakah ia Muslim ataukah apa? Penyanyi Muslim seperti Yusuf Islam dan Dawud Wharnsby; tokoh masyarakat seperti Nelson Mandela dan Imam Zaid Shakir; dan wartawan Muslim terkenal seperti Zahed Amanullah menyatakan sesuatu tentang Michael Jackson. "Dia tampaknya memiliki hati seorang anak, meskipun ia adalah seorang raksasa dari seorang musisi. Begitu saya dengar dia dibawa ke rumah sakit, yang terburuk telah diantisipasi," kata Yusuf Islam.


Jermaine Jackson—kakak Michael—mengucapkan sebuah kalimat di acara prosesi kematiannya. “Semoga Allah bersamamu , Michael, selalu."

Berita seperti larangan menara Swiss, Prancis dengan larangan burqa, dan kesyahidan Marwah El-Sherbini yang jelas dramatis dan tragis untuk umat Islam pada tahun 2009. Akhirnya dunia Islam di tahun 2009 ditutup dengan sebuah peristiwa alam yang banyak menggentarkan hati semua orang: Mekkah dilanda banjir besar ketika tengah melaksanakan ibadah haji.



Di tahun 2010, akan ada apakah lagi? (sa/iol/eramuslim)

E-REFERENCE

Oleh : Zamrud Mufida

LATAR BELAKANG

Alternatif aktual dalam memperoleh sumber informasi sudah mengalami perkembangan secara mutakhir. Informasi berbentuk cetak ( paper-based ) yang kita kenal dalam perpustakaan tradisional sepertinya mulai diabaikan, saat ini telah tersedia pilihan berwujud informasi secara elektronik. Beragam sumber daya informasi yang terkomputerisasi telah di daur ulang oleh bidang teknologi khususnya dinegara maju. Bahkan sebagian dari produk informasi yang disajikan hanya dalam bentuk elektronik dengan sistem akses dan temu kembali dalam waktu singkat, menjadikan akses informasi elektronik sebagai satu alternatif yang semakin penting dalam pemenuhan kebutuhan informasi.

Pandangan dari Krikelas ( 1983) dikutip dari Sri Purnomowati, 2008, ”kebutuhan informasi adalah pengakuan tentang adanya ketidakpastian dalam diri seseorang yang mendorong seseorang untuk mencari informasi. Dalam kehidupan yang sempurna, kebutuhan informasi (information needs) sama dengan keinginan informasi (information wants), namun pada umumnya ada kendala seperti ketiadaan waktu, kemampuan, biaya, faktor fisik, dan faktor individu lainnya, yang menyebabkan tidak semua kebutuhan informasi menjadi keinginan informasi. Jika seseorang sudah yakin bahwa sesuatu informasi benar-benar diinginkan, maka keinginan informasi akan berubah menjadi permintaan informasi (information demands)”.

Indikasi tersebut menunjukkan bahwa segala upaya yang telah dilakukan oleh penyedia informasi selama ini belum menunjukkan hasil yang menggembirakan. Layanan informasi yang disediakan kelihatannya belum dimanfaatkan secara optimal oleh pengguna informasi (information demands) kecil. Sesuai teori di atas, kecilnya permintaan informasi bukan berarti kecil pula kebutuhan informasinya, tetapi ada kemungkinan bahwa karena berbagai faktor, kebutuhan informasi tidak berubah menjadi permintaan informasi. Kemungkinan lain, permintaan informasi yang muncul sudah terpenuhi dari sumber lain. Hal ini didukung oleh maraknya teknologi informasi terkini yaitu teknologi internet sehingga komunikasi dengan sesama ilmuwan ataupun pencarian literatur dapat dilakukan dengan lebih mudah dan intensif. Menurut Nicholas (1996) menyatakan bahwa informasi mempunyai 5 fungsi, yaitu:

1). Fungsi fact finding yaitu informasi yang dibutuhkan seseorang untuk menjawab pertanyaan tertentu;

2). Fungsi current awareness yaitu informasi yang dibutuhkan seseorang agar dapat mengikuti perkembangan
mutakhir;

3). Fungsi riset yaitu seseorang membutuhkan informasi dalam bidang tertentu secara lengkap dan mendalam;

4). Fungsi briefing yaitu informasi yang dibutuhkan seseorang mengenai topik tertentu secara ringkas dan
sepintas;

5). Fungsi stimulus yaitu informasi yang dibutuhkan seseorang untuk merangsang ide-ide baru.

Upaya mendapatkan kebutuhan informasi, pengguna akan mencari informasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Proses penelusuran informasi akan melibatkan pemanfaatan sarana atau media sebagai alat penelusuran informasi, pengguna dalam menelusur informasi akan memilih cara atau strategi yang dianggap lebih efektif, sebagaimana dikemukakan oleh Denis McQuail : “ Setiap individu mengumpulkan kemungkinan-kemungkinan sumber informasi, kemudian menilainya, dan menetapkan pilihan sumber mana yang akan dipakai “ (McQuail, 1985;93). Dalam proses komunikasi massa yang berkaitan dengan industri informasi, Denis McQuail mengatakan : “Ada 2 aspek yang perlu dipertimbangkan : 1. aspek ekonomi dan 2. aspek teknologi. Aspek ekonomi diperlukan karena untuk kepentingan menghemat biaya, mengurangi konflik dan menjamin adanya kesinambungan serta pemasokan yang memadai. Sedangkan aspek teknologi sangatlah jelas efeknya, yaitu berkaitan dengan kecepatan, fleksibilitas, dan kapasitas yang lebih tinggi “ (McQuail, 1989;168).

Proses akses informasi elektronik dalam layanan penelusuran informasi yang mengacu pada kecepatan, fleksibilitas, dan kapasitas yang lebih tinggi untuk pemenuhan kebutuhan informasi pengguna dapat terlihat dalam layanan e – reference singkatan dari electronic reference, dalam hal ini arti kata istilahreference yaitu menunjuk kepada, menyebut (Echols, 2000) ini biasanya diikuti oleh suatu aktifitas yang didukung oleh perangkat elektronik atau secara online serta umumnya dengan menggunakan internet, Misalnya: e-book, e-jurnal, e-libry, digilib, e-commerce, e-government, e-business, e-health, e-law, dll. ( http://www.total.or.id/info.php?kk=data%20library).

Merunut beberapa pendapat diatas, bahwa dalam meningkatkan hasil penelusuran informasi harus ada kesinambungan antara pengelola informasi dengan pengguna, dalam menentukan strategi pemilihan sumber informasi yang akan dimanfaatkan dalam layanan penelusuran informasi. Berkaitan dengan pemilihan terhadap sarana penelusuran informasi tersebut maka layanan yang mungkin dapat digunakan berupa layanan e-reference yang merupakan alternatif terbaik, dalam hal ini mempunyai beberapa karakteristik yang berbeda dengan media online lainnya. E- reference baik secara online maupun offline memiliki kemampuan akses yang tinggi, akses informasi yang dimuat relatif lebih banyak, serta tingkat akurasi informasi tinggi.

Adanya perkembangan teknologi informasi secara global, berkembang secara bersamaan pula sarana dan media informasi yang mempunyai fasilitas kecanggihan teknologi yang dapat diandalkan dalam penyediaannya. Dapat kita lihat dengan mudah perkembangan penggunaan fasilitas dan sarana internet / komputer dengan aplikasi e - reference yang handal untuk mendapatkan sumber informasi akurat dengan cepat dan tepat guna. E - reference sebagai media yang mampu menyediakan data dan sumber informasi terkini dan akurat karena tersambung pada sebuah jaringan global ataupun database tersendiri yang dapat kita langgan maupun yang kita buat dari local content (milik sendiri). Seperti yang dikutip dari Pendit, (2006) ”dikaitkan dengan kehadiran teknologi jaringan komunikasi dan informasi yang hampir sepenuhnya digital serta keberadaan dan institusionalisasi kelompok sosial dalam bentuk jaringan sebagai konfigurasi utama”. Dan budaya jaringan yang dinyatakan oleh Terranova (2004) bahwa ”Informasi bukanlah semata-mata domain fisik dan juga bukan semata-mata konstruksi sosial. Informasi bukan hanya isi dari sebuah tindak komunikasi, bukan sebuah entitas tak-berbentuk (immaterial) yang akan mengambil alih dunia nyata, melainkan sebuah reorientasi bentuk-bentuk kekuasaan dan mode-mode resistensi yang spesifik/unik. Di satu sisi ia merupakan sebuah resistensi terhadap bentuk-bentuk kekuasaan informasional, karena bentuk-betuk kekuasaan itu mengandung teknik manipulasi dan pengekangan (containment) terhadap virtualitas sosial. Di sisi lain ia mensyaratkan keterlibatan kolektif dengan potensi dari arus informasi ketika arus ini menggantikan kultur dan membantu manusia melihatnya sebagai tempat bagi sebuah reinvention (penemuan kembali) kehidupan”.

Sebagai satu contoh layanan e – reference yaitu layanan e - jurnal, dalam perkembangan e-jurnal di Indonesia telah disadari bahwa pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi memerlukan penguasaan kemampuan menggunakan mereka. Pada tingkat nasional, Perpustakaan atau pusat informasi yang dapat memberi layanan informasi ilmiah kepada masyarakat ilmiah atau pengguna sebagaimana umumnya, mempunyai peranan yang penting untuk mempercepat pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Riset dan komukasi ilmiah tergantung akses yang terus menerus terhadap ilmu pengetahuan pada masa sebelumnya. Sebelum kedatangan jurnal elektronik, Perpustakaan penelitian melanggan jurnal tercetak, menyediakan akses, dan melestarikan sumber-sumber bibliografis ini dalam dukungan penelitian yang berkelanjutan, pengajaran, dan kebutuhan pembelajaran dari komunitas utama mereka. Pengantar dari jurnal elektronik telah merubah komunikasi ilmiah dalam cara-cara yang luarbiasa.

E - jurnal memungkinkan penyebaran hasil penelitian lebih cepat, menyediakan akses hyperlink terhadap publikasi yang dikutip, dan menjelaskan teks dengan gambar, file suara, dan video, seperangkat data dan software, tetapi e - jurnal juga menciptakan suatu dilema bagi Perpustakaan yang saat ini akses lisensi lebih baik daripada memiliki jurnal yang mereka langgan. Menurut Google, definisi e - jurnal pada web adalah kependekan dari elektronik jurnal. Mereka adalah jurnal full teks yang ditampilkan di internet. (Budi, 2008).

Dengan demikian akan lebih banyak data serta sumber informasi yang mudah didapat melalui media tersebut, semakin hari semakin banyak pengguna menelusur informasi dengan memanfaatkan layanan e - reference. Hal ini membawa pengaruh pada pengguna perpustakaaan yang dulunya hanya mengandalkan koleksi yang ada diperpustakaan tersebut, menjadi tertarik pada perilaku mereka dalam menelusur informasi yang dibutuhkan dengan cepat dan tepat. Tak pelak saat ini layanan e - reference semakin mewabah dan menjadi bagian dari gaya hidup masyarakat pengguna perpustakaan. Oleh karena itu perlu digaris-bawahi bahwa saat ini keberadaan layanan e - reference semakin berpengaruh pada gaya hidup masyarakat dan lebih jauh mempengaruhi perilaku mereka dalam menelusur data serta sumber informasi.

Pengaruh pesatnya perkembangan teknologi internet bagi perpustakaan mempunyai peranan penting dalam mengelola, menyediakan dan menyebar-luaskan sumber-sumber informasi. Keandalan perpustakaan sebagai penyedia informasi semakin menjadi beban yang patut dipertanyakan. Apakah perpustakaan mampu mengimbangi keandalan layanan e - reference dalam menyediakan informasi. Satu dari beberapa nilai lebih yang dimiliki oleh sumber-sumber informasi yang disediakan oleh perpustakaan adalah informasi yang ada lebih terseleksi dan mungkin lebih terfokus. Sebaliknya informasi yang diperoleh dari media internet akan jauh dari pengawasan. Seperti yang diketahui informasi yang ada di internet sifatnya lebih luas, sehingga jenis informasi yang layak untuk diterima tersedia pada layanan e - reference.

“Berbagai jurnal diterbitkan dalam edisi elektronik disamping edisi cetak, dan beberapa produser terus mencari cara – cara untuk melahirkan publikasi elektronik baru dan kompetitif. Penyediaan jurnal online (electronic journal) tumbuh dengan cepat. Berdasarkan suatu survey yang dilakukan pada tahun 1995, dilaporkan bahwa terdapat lebih dari 100 judul jurnal yang diterbitkan secara elektronik dalam bidang science, technology and medicine (STM). Bahan-bahan yang selama ini tergolong dokumen unpublished dan sulit untuk diperoleh, saat ini banyak yang disajikan untuk umum melalui internet” (Siregar, 2004 ).

Arus perkembangan sains dan teknologi saat ini sangat pesat sehingga informasi seyogyanya dikelola secara efisien agar penyebaran informasi tersebut tepat guna dan tepat sasaran. Hal inilah yang mengharuskan perpustakaan lebih merespon akan kebutuhan dan keinginan penggunanya dalam mencari dan mendapatkan data serta sumber informasi terkini melalui perpustakaan. ”Pustakawan dengan cepat telah mengadopsi teknologi ini dan menggunakan internet guna memenuhi kebutuhan pengguna. Ketersediaan e-mail dan layanan Web telah mengarah kepada pengembangan layanan reference digital yang telah menjadi faktor yang signifikan untuk adaptasi dari internet ke layanan reference”. (Ozkaramanh,2005). Namun teknologi internet juga merupakan masalah dalam layanan e-reference. ”Komunikasi dengan menggunakan internet memerlukan waktu yang lama karena segalanya harus diketik, kadang – kadang terjadi banyak pengguna yang meminta layanan dalam waktu yang bersamaan, dan interface dari layanan e-reference tidak ramah (not user-friendly)” dikutip dari Shaw, 1996 ; Kawakami, 2003.

Fenomena yang mencuat tersebut semakin dirasakan pula pada perpustakaan lembaga pendidikan tinggi. Berkenaan dengan lembaga yang berada di lingkungan pendidikan maka perpustakaan bertanggung jawab terhadap penyediaan bahan dan sumber informasi pendidikan serta penyebaran informasi yang selalu up to date (terbaru) di lingkungan pendidikan tinggi. Untuk itu perpustakaan sebagai komponen dalam lembaga pendidikan tinggi sebagai tempat berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi serta semakin banyaknya sumber informasi harus selalu mampu menjembatani arus perkembangan tersebut melalui pembaharuan sistem layanan yang ada dalam manajemen / organisasi lembaga perguruan tinggi. Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya sebagai perguruan tinggi selalu berusaha meningkatkan mutu pendidikan tinggi di lingkungannya, perlu mengoptimalkan sarana dan fasilitas penunjang kegiatan akademik.

Penyebaran dokumen informasi merupakan satu dari beberapa tugas utama suatu bidang jasa informasi. (“Dokumen pada dasarnya adalah informasi terekam. Kalimat mencatat, menyimpan, memelihara, mengelola, menyediakan dan melayani pemberian informasi hanya bermakna kalau yang dibicarakan adalah informasi yang terekam. Kebebasan memperoleh informasi mengandung pemahaman seluruh peradaban modern hanya dapat terwujud jika dilandasi oleh rekaman - rekaman yang teratur.” (Pendit, 2006).