Senin, 21 Desember 2009

OTONOMI PUSTAKAWAN*

1. Pendahuluan
1.1. Pustakawan adalah profesi, dan karenanya bisa dilihat dari tiga sisi. Dari segi etika,
kita melihat profesi dalam kerangka ideal menyangkut moralitas dan manfaat profesi
ini bagi masyarakatnya. Dari segi hubungan ilmu dan profesi, kita bisa membahas
"isi" dari profesi berdasarkan pondasi keilmiahan dari kompetensi anggotanya. Dari
segi sosiologi, setiap profesi mempengaruhi dan dipengaruhi oleh institusi lain di
dalam masyarakatnya. Walaupun ketiga sisi ini sebenarnya tidak bisa saling
dipisahkan, namun untuk kepentingan analisis setiap sisi bisa dilihat secara terpisah.
1.2. Makalah ini akan berkonsentrasi ke sisi ketiga, untuk melihat posisi pustakawan vis
a vis institusi lainnya di masyarakat. Pokok persoalan yang ingin diangkat adalah
otonomi pustakawan sebagai profesional. Asumsi dasarnya, pustakawan sebagai
insan profesional mampu menentukan sendiri penerapan kompetensi dan
keahliannya di masyarakat. Otonomi ini sekaligus merupakan pertanggungjawaban
kepada masyarakat yang telah memberikan mandat kepada sebuah profesi untuk
menerapkan keahlian mereka di masyarakat di mana mereka tinggal dan berkarya.
1.3. Menurut penulis, memandang otonomi pustakawan dari sisi posisi dan hubungan
sosial sangatlah relevan dengan kondisi yang dihadapi pustakawan Indonesia saat
ini. Ada dua alasan tentang ini. Pertama, karena di saat ini para pustakawan
Indonesia berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang apa sebenarnya peran
mereka dalam perubahan masyarakat yang sangat mendasar, termasuk khususnya ide
tentang demokratisasi, masyarakat madani dan perubahan dalam pemerintahan
daerah (otonomi daerah). Kedua, pustakawan berkegiatan di bidang informasi yang
saat ini terus menerus berubah dengan cepat, sehingga ada pertanyaan tentang jati
diri profesi ini di hadapan profesi-profesi lainnya.
1.4. Dari segi etika, IPI boleh saja menyatakan bahwa pustakawan melakukan pekerjaan
mulia untuk kesejahteraan bangsa. Tetapi pemeriksaan terhadap Kode Etik IPI tidak
akan menjawab persoalan sumbangan yang sesungguhnya diberikan pustakawan
Indonesia di lapangan. Terlebih-lebih lagi, nilai sumbangan pustakawan ini sangat
bergantung pula dari unsur-unsur lain, baik pihak yang diharapkan menerima
manfaat dari kompetensi pustakawan (pengguna jasa perpustakaan, misalnya),
maupun unsur-unsur lain. Dari segi kompetensi, ilmu perpustakaan dan informasi
bisa saja menyodorkan sederet daftar ketrampilan dan pengetahuan yang ketat.
Tetapi pemeriksaan terhadap isi kompetensi sebuah profesi juga tidak menjawab
persoalan bagaimana hubungan antara akademisi dan praktisi, atau antara universitas
dengan organisasi profesi.
* Makalah untuk Rapat Kerja Pusat XI, Ikatan Pustakawan Indonesia XI dan Seminar Ilmiah, Jakarta 5
- 7 November 2001
** Pengajar di Jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
2 dari 2
2. Otonomi Profesi dalam Konteks Sosial
2.1. Freidson (1994) berpendapat bahwa inti dari profesionalisme adalah kerja (work).
Dari sisi sosiologi, ada dua persoalan. Pertama, bagaimana membedakan kerja
profesional dengan kerja yang lainnya yang mungkin memiliki ciri dan fungsi sama.
Untuk ini perlu pengakuan informal maupun formal terhadap kerja itu. Kedua,
bagaimana sebuah kegiatan mendapat status kerja di pasar pekerjaan; atau
bagaimana sebuah kerja mendapatkan imbalan finansial di masyarakat. Kerja yang
tidak dibayar, pada umumnya dianggap tidak profesional, walaupun nilainya
mungkin tinggi sekali.
2.2. Setiap kerja membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan yang penerapannya
membutuhkan pengaturan sosial. Sebuah masyarakat moderen mengelompokkan
pekerjaan menurut jenis pengetahuan dan ketrampilan yang menurut masyarakat itu
diperlukan untuk melaksanakan tugas tertentu. Tingkat kekhususan (spesialisasi)
pengetahuan dan ketrampilan bagi sebuah masyarakat ikut menentukan
keprofesionalan sebuah pekerjaan. Seberapa pun bersikerasnya sebuah profesi
mengatakan bahwa pengetahuan dan ketrampilan mereka bersifat "khusus", tetapi
jika masyarakatnya menganggap pengetahuan dan ketrampilan itu bersifat "umum",
maka tetap saja pekerjaannya disebut tidak profesional.
2.3. Profesionalisme membutuhkan kemampuan mengambil keputusan, sehingga
pengetahuan dan ketrampilan untuk mengerjakan sesuatu yang rutin dan berulang
bukanlah pekerjaan profesional. Semakin rumit keputusan yang harus diambil,
semakin profesional. Lebih jauh lagi, masyarakat modern menghubungkan
profesionalisme dengan kemampuan abstraksi yang didapat dari pengetahuan formal,
bukan dari praktek dan kebiasaan.
2.4. Selain menegaskan spesialisasi pengetahuan dan ketrampilan, setiap profesi perlu
membuat batas yang jelas dengan profesi lainnya. Perkembangan sebuah profesi
seringkali berisi perjuangan profesi itu dalam membedakan dirinya --kekhususan
pengetahuan dan ketrampilannya-- dari profesi lain. Demarkasi antar profesi ini
membentuk sistem pembagian kerja (division of labor) yang lebih besar. Sifat dari
sistem ini akan dipengaruhi kondisi sosial, ekonomi dan politik masyarakatnya.
2.5. Menurut Friedson, ada tiga kemungkinan sebuah profesi menentukan batas-batasnya.
Pertama, batas tersebut diputuskan sendiri oleh anggota-anggota profesi. Kedua,
batas tersebut ditentukan oleh pihak yang memakai jasa profesi. Ketiga, batas
tersebut ditetapkan oleh sebuah otoritas legal yang tersentralisir (misalnya negara).
Profesionalisme yang ideal tentu adalah yang pertama. Tetapi setiap profesi hidup di
dalam sebuah pasar kerja dan berhubungan dengan otoritas legal negara yang bisa
secara abritret menetapkan batas-batas profesi.
3. Otonomi Profesi dan Sistem Kerja
3.1. Jika profesionalisme berintikan kerja, maka kita bisa melihat sistem kerja (labour
exchange systems) sebagai tempat di mana setiap orang dalam angkatan kerja
memberikan sebuah jasa -baik itu berupa upaya, pertimbangan, nasihat, dsbkepada
orang lain atau ke sebuah organisasi, dan dibayar untuk itu. Dalam konteks
3 dari 3
profesionalisme sistem kerja secara garis besar dapat di bagi dalam dua model.
Masing-masing model memiliki dua tipe spesifik.1
3.2. Model Profesional - Klien Tipe 1 (tipe "ideal"). Tipe ini bersifat ideal dalam hal
kendali atas pemberian jasa profesional dan kompensasinya. Seorang profesional
memberikan jasa berdasarkan pengetahuan yang tidak dimiliki oleh klien, sehingga
klien bergantung kepada etika dan kompetensi profesi. Peran asosiasi profesi dalam
menjaga standar profesi di sini sangat besar karena klien dalam posisi lemah.
Sementara itu, si profesional yang "self-employed" seperti ini relatif otonom dalam
memilih klien, kapan dan bagaimana melayani, serta berapa akan meminta bayaran.
Dalam hal ini perkembangan karir sejalan dengan perkembangan profesi.
3.3. Model Profesional - Klien Tipe 2 - Klien Tunggal. Semakin sedikit jumlah klien
yang dilayani, kekuasaan klien mengendalikan waktu kerja, jenis pekerjaan, bayaran,
dsb. semakin meningkat, sampai ke suatu titik di mana profesional hanya melayani
satu klien. Di sini sebenarnya si profesional sudah lebih mirip sebagai pegawai,
walaupun sifat hubungan profesional - klien masih ada. Di sini, otonomi profesi
sangat berkurang dan kendali pindah ke klien tunggal tersebut. Standar profesi akan
dipengaruhi oleh klien, selain oleh asosiasi profesi. Kemampuan profesional akan
dipersempit untuk memenuhi satu keperluan dari satu klien, dan bukan untuk
beragam keperluan dari beragam klien. Dengan demikian kemampuan memberi
penilaian dan pertimbangan pun akan terbatas. Kalau profesi tidak mau melayani si
klien, profesi ini akan kehilangan pekerjaan.
3.4. Model Pekerja - Majikan Tipe 1 - Pelanggan Terlihat. Profesional yang
menyediakan jasa dalam model profesional - klien di atas adalah sekaligus pekerja
dan majikan. Kalau kedua fungsi dipisahkan, bertambah lah kesulitan yang dihadapi
profesional dalam memenuhi kriteria profesional dalam hal otonomi, komitmen,
identifikasi, dan etik. Si profesional kini bertanggungjawab secara harian kepada
majikan. Orang atau orang-orang yang menerima jasa adalah nasabah dari si
majikan. Nasabah membayar majikan, dan majikan membayar pegawai atas jasa
yang diberikan kepada nasabah. Jelas bahwa majikan ingin mengendalikan kepada
siapa, kapan, dan dalam kondisi apa pegawainya memberikan jasa. Majikan juga
ingin menilai kinerja, kompetensi, dan etika dari pegawai. Majikan pada umumnya
tidak setuju jika tugas ini dilaksanakan oleh asosiasi profesional, walaupun mereka
tidak menolak adanya pembagian peran kontrol ini. Majikan akan punya
kecenderungan kuat untuk mereduksi pekerjaan besar yang rumit menjadi pekerjaanpekerjaan
kecil. Satu orang akan ditugaskan untuk mengerjakans setiap bagian kecil
itu secara rutin dan terpola. Akibatnya, kebutuhan untuk memiliki pengetahuan yang
luas dan pengambilan keputusan berkurang. Juga akan mudah bagi majikan untuk
mengganti-ganti orang. Otonomi berkurang, ditambah dengan intervensi majikan ke
bidang-bidang seperti standar, etika, kompetensi. Karir dan perkembangan
tergantung pada majikan.
3.5. Model Pekerja - Majikan Tipe 2 - Pelanggan Tidak Terlihat. Otonomi profesi
semakin terancam jika jasa dari si pegawai dipakai untuk membuat sebuah produk
untuk majikan yang kemudian menjualnya kepada pelanggan. Sekarang, pelanggan
"tidak nampak" bagi si profesional. Majikan, dalam rangka memenuhi kebutuhan
1 Diadaptasi dari penjelasan the Association of Professional Engineer, Geologist and Geophysicist of
Aleberta - www.apegga.com.
4 dari 4
pelanggan dan pemegang saham, mendikte standar, etika, kondisi kerja, skala gaji,
dan perkembangan karir dari para pegawai. Profesional yang bekerja dalam sistem
seperti ini tidak ada bedanya dengan pekerja lain. Bisa muncul tekanan sangat kuat
pada pegawai profesional untuk meninggalkan konsep profesionalisme, terutama
konsep yang dianggap akan menghalangi karir. Ini berarti ada tendensi untuk lebih
loyal kepada perusahaan daripada kepada "profesi".
4. Otonomi Profesi dan Institusi Pendidikan
4.1. Untuk menjaga otonominya, sebuah profesi seringkali merujuk ke sebentuk
pengetahuan formal. Di sini, hubungan profesi dengan institusi pendidikan
(universitas) menjadi faktor penentu. Day (1997) menggambarkan bahwa secara
ideal, universitas ditandai oleh ketiadaan kepentingan (disinterestedness) karena
bekerja untuk kepentingan umum. Ketiadaan kepentingan ini menjadi sumber
motivasi dan bahan baku profesional, karena seorang profesional adalah orang yang
punya otoritas dalam bidangnya, bertindak secara otonom memakai material yang
dipilihnya sendiri, dan bukan dipaksa atau diancam bertindak oleh kekuatan di luar
kompetensi profesionalnya.
4.2. Berlandaskan ke-"murni"-an ilmu, universitas menjadi the chief authority dalam
berbagai pengetahuan. Sebab itulah, banyak bidang profesi berupaya
mengembangkan diri mereka di dalam universitas agar bisa memberikan status
sosial-ekonomi kepada para anggotanya. Otoritas universitas dimulai dari pemikiran,
maka universitas berkembang di sekitar "life of the mind," terutama "the mind of
science", yang adalah pemikiran rasional. Dengan mengaitkan diri ke universitas,
sebuah profesi meraih status rasional otonom atas kegiatan-kegiatan anggotanya.
4.3. Dalam menjaga rasionalistas dan otonominya, universitas menegaskan pentingnya
riset. "Riset" bukan saja merupakan fungsi dari ilmu untuk menemukan kebenaran
universal, tetapi juga harus mengarahkan proses pengajaran sehingga siswa dapat
bekerja langsung di bawah gurunya dalam menemukan kebenaran. Selain itu,
universitas beranggapan bahwa pengetahuan murni hanya dapat dihasilkan jika riset
dan perisetnya berada dalam "isolation and freedom". Bahkan isolasi ini seringkali
diartikan sebagai jarak yang memisahkan universitas dari masyarakat, dan akhirnya
menimbulkan kesan "menara gading". Salah satu risiko profesi yang mencari
landasan otonominya di universitas, dengan demikian, adalah keterpisahan profesi
itu dari masyarakat umum.
4.4. Pengetahuan "murni" mendapat tantangan dari pengetahuan "praktis" ketika orang
mempersoalkan kegunaan aplikatif dari ilmu yang dipelajari para calon profesional
di universitas. Dalam hal ini, profesionalisme berpaling dari "identifikasi dengan
pengetahuan" ke "penguasaan dan pengendalian terhadap aplikasi". Profesi tidak
lagi mengutamakan kemurnian pengetahuan, melainkan seberapa jauh seorang
profesional dapat menguasai dan mengendalikan penerapan ilmu-ilmu formal yang
dipelajarinya di universitas. Maka universitas menyediakan "sistem" atau "paket"
yang bisa membantu sebuah profesi menetapkan kompetensi khusus anggotaanggotanya,
sekaligus melatih mereka menggunakan kompetensi tersebut.
Universitas berperan sangat besar dalam menentukan batas-batas internal maupun
eksternal sebuah profesi.
5 dari 5
4.5. Model teknis-rasional dominan sepanjang pemikiran profesionalisme abad 19 dan
20. Perspektif baru, misalnya sebagaimana yang disinyalir Handy (1989) dan
Habermas (1977), melihat bahwa kerja profesional merupakan aktifitas interpretif
dan kreatif, selain teknis. Praktik jaman kini melibatkan dilema nilai, konteks sosialekonomi
yang rumit, dan situasi yang hakikat teritorinya terus berubah, tetapi juga
batas-batasnya selalu kabur. Menurut Lester (1995) praktisi bekerja di sebuah sistem
yang rumit dan dinamis. Sebelum bisa menerapkan solusi, seorang praktisi harus
dapat men-"teori"-kan situasi yang dihadapinya. Praktisi melakukan refleksi
intelektual dalam situasi yang "berantakan". Ia memang menggunakan
pengetahuannya, tetapi ia juga memerlukan kemampuan sintesis, pemahaman situasi,
etika, dan kemampuan menginterpretasi makna dari sebuah situasi dari berbagai
perspektif dan sisi pandang. Di lapangan kerja, situasinya semakin memperlihatkan
antar-keterkaitan, keragaman nilai, bukan reduksionisme teknis-rasional.
4.6. Situasi baru ini secara tidak langsung telah memindahkan tanggungjawab dalam
menetapkan perilaku profesional ke masing-masing praktisi individual, membuka
kemungkinan otonomi ideal. Pada saat sama, situasi ini juga mempertanyakan batasbatas
profesional tradisional. Hubungan antar-profesional dan pendekatan multidisiplin
menjadi semakin sering terjadi. Sementara itu, "sistem" atau "paket" yang
dihasilkan universitas mengalami standardisasi, isi dari pendidikan universitas
mengalami institusionalisasi "objektif". Sistem profesional dari universitas berpindah
ke wilayah teknis yang mencakup, tetapi tidak terbatas pada, peralatan (teknologi).
5. Otonomi Profesi dan Kekuasaan Negara
5.1. Sebuah masyarakat "menciptakan" sebuah profesi untuk memastikan tersedianya
produk atau layanan yang tidak bisa disediakan oleh "orang biasa" karena prosesnya
yang rumit. Masyarakat memberikan "mandat" kepada pihak lain untuk ini, antara
lain kepada negara dan pemerintahan yang memiliki kekuasaan untuk bertindak atas
nama masyarakatnya. Filsuf Plato dalam bukunya The Statesman yang ditulis
berabad-abad silam sudah mengusulkan ide tentang "profesional di bidang
pemerintahan" (lihat misalnya tulisan Ciger, 1990) untuk menjamin komitmen
negara terhadap masyarakat. Tetapi ide dasar ini tidak mudah terwujud. Dari sisi
pandang negara, sebenarnya profesionalisme pegawai negeri bisa menjamin: (a)
adanya kompetensi minimum setiap pegawai, (b) aparat yang bisa mengatur dirinya
sendiri demi efisiensi dan efektifitas layanan publik, dan (c) kenetralan dalam
pelayanan (tidak diskriminatif). Profesionalisasi pegawai pemerintah juga dapat
memastikan dipertahankannya nilai-nilai layanan publik dari gerusan komersialisasi
yang dikembangkan oleh pihak pasar (Montgomery, 1998).
5.2. Di lain pihak, sebuah kelompok profesi di luar negara akan memiliki kekuasaan
berdasarkan pengetahuan dan keahlian serta mandat yang diberikan masyarakat
kepadanya. Ini dapat diartikan sebagai saingan terhadap kekuasaan negara, terutama
jika negara tersebut beraliran totalitarian. Di bekas Uni Soviet, misalnya, semua
sumber kekuasaan harus ada di tangan negara. Layanan profesional direduksi
menjadi satu unit administrasi yang terpusat dan dikendalikan oleh aturan-aturan
birokrasi sebagai perwujudan dari nomenklatur Partai Komunis. Akibatnya, tidak
ada professional meritocracy, kebebasan profesi, organisasi profesional yang
independen, maupun transparansi. Karir profesional bukan ditetapkan oleh keahlian,
tetapi oleh ketaatan kepada partai dan loyalitas kepada pemimpin partai. Semua
institusi profesi diberangus (lihat Hudson, 1994 dan Jones, 1991).
6 dari 6
5.3. Sementara itu, ada juga yang memandang profesionalisasi pegawai negeri sebagai
problem baru. Fred Riggs (1997) misalnya menganggap bahwa profesionalisasi
meningkatkan kekuasaan administrator publik dan birokrat, sehingga muncul
masalah hubungan fungsional antara politisi dan administrator. Bert A. Rockman
(1997) mengingatkan kemungkinan bentrok antara "akuntabilitas", "ketanggapan
(responsiveness), dan "tanggungjawab" profesional pemerintahan. "Akuntabilitas"
berkaitan dengan ketaatan hukum. "Ketanggapan" berkaitan dengan komitmen
kepada janji politik. "Tanggungjawab" berkaitan dengan keterikatan etik dan
ketrampilan profesional. Bagi pegawai negeri, the art of being professional
seringkali merupakan ketrampilan khusus untuk mengelola ketiga tuntutan ini.
5.4. Frederick C. Mosher (1968) juga mengingatkan bahwa profesional di bidang publik
dapat menjadi sangat berorientasi birokrasi yang kaku dan super-tertib ala Max
Weber. Birokrasi profesional bisa menjadi terlampau sempit sehingga menimbulkan
parochialism; tidak mampu keluar dari rasionalitas teknis, sehingga pendekatannya
cenderung tidak kontekstual. Lalu akan muncul kompartementalisasi, spesialisasi
dan akhirnya egoisme sektoral yang menghambat komunikasi, kerjasama, dan
organisasi antar administrasi publik.
5.5. Kultur sebuah masyarakat ikut menentukan posisi profesional dalam konteks
pelaksanaan negara dan politik. Profesional di negeri Cina, misalnya, terikat tradisi
Konghucu tentang tanggungjawab moral seseorang yang berpengetahuan
(knowledgable person) terhadap masyarakatnya. Seorang profesional Cina merasa
wajib terlibat dalam kehidupan sosial-politik dan tidak jarang menggabungkan
nasionalisme dengan profesionalisme2. Pada gilirannya, profesionalisme ini juga
diterjemahkan sebagai kewajiban negara (dan pegawai negeri) untuk mengurus
masyarakat lewat pendekatan top-down dan berdisiplin. Tradisi "negara profesional"
ala Konghucu ini bertahan sampai sekarang di negeri-negeri Asia Tenggara, terutama
Singapura, Taiwan, Hong Kong dan Korea Selatan (lihat Huque, Lam dan Lee,
1996).
6. Kepustakawanan dan Negara Indonesia
6.1. Pada kesempatan lain, penulis telah membahas kepustakawanan Indonesia terutama
dalam konteks sosial dan perkembangan sejarah (Pendit, 1988, 1992a, 1992b, 1993).
Sebagaimana kepustakawanan lainnya di dunia, kepustakawanan Indonesia lahir
dalam konteks sosial yang spesifik. Khusus untuk Indonesia, maka ciri utamanya
adalah kuatnya peran pemerintah dan negara dalam segala segi, selain keikut-sertaan
kaum elit-intelektual. Lebih jauh lagi, kepustakawanan Indonesia tumbuh dalam
lingkungan informasi yang berakar pada tradisi yang membenarkan pusat kekuasaan
sebagai sekaligus pusat dan sumber informasi. Tradisi ini adalah tradisi kraton, yang
oleh Kuntowijoyo (1987) digambarkan sangat baik lewat telaah tentang peran
pujangga kraton, abdi dalem dalang dan abdi dalem juru sungging di kerajaankerajaan
Jawa.
6.2. Belanda ikut menumbuhkan kepustakawanan modern Indonesia dalam kerangka
Politik Etis yang dalam awal abad 20-an antara lain membangun 680 perpustakaan
umum di bawah koordinasi Komisi Bacaan Rakyat (Comissie voor de Inlandsche
2 Pembahasan yang menarik tentang ini dapat dilihat di www.aasianst.org/abss/1997abst/china/c73.htm
7 dari 7
School en Volkslectuur) yang kemudian menjadi Balai Pustaka. Sampai tahun 1930,
pemerintah kolonial telah membangun 2.686 perpustakaan untuk umum (Hardjo-
Prakoso, 1975, h. 29). Pada saat bersamaan Belanda juga membangun sistem
pendidikan modern yang antara lain memungkinkan kaum ningrat belajar budaya
Barat. Semua ini, menurut Setiadi (1991), termasuk dalam strategi pemerintah
kolonial untuk ikut berperan dalam pembentukan budaya dan perkembangan
intelektual Indonesia lewat kendali dan monopoli informasi. Balai Pustaka menjadi
mesin utama Belanda untuk menulis naskah, mencetak, menerbitkan sampai
menyebarkannya lewat perpustakaan, termasuk lewat Taman Poestaka dan
perpustakaan keliling. Ditambah lagi, minat orang-orang Belanda pada budaya,
bahasa, dan tanaman Indonesia untuk kepentingan kolonialisme ikut menyumbang
pada perkembangan perpustakaan (Sulistyo-Basuki, 1998).
6.3. Pada 1951, hanya dua tahun setelah akhir perang, Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia memutuskan untuk mengkoordinasi perpustakaan umum
dengan fokus utama pada pemberantasan buta huruf. Menurut Hadi (1956)
pemerintah merencanakan 189 perpustakaan wilayah dengan 2.657 cabang, ditambah
14.377 perpustakaan desa. Pada tahun sama didirikan Biro Perpustakaan yang mulai
bekerja tiga tahun kemudian (Tjoen dan Pardede, 1966) dengan tugas
menyelenggarakan perpustakaan "demi kepentingan pemerintah". Pemerintah pula
lah yang memobilisasi peminat kepustakawanan untuk mengisi lowongan pekerjaan
di perpustakaan.
6.4. Catatan konsultan UNESCO, AGW Dunningham, memperlihatkan bagaimana upaya
pengembangan kepustakawanan Indonesia di tahun-tahun tersebut tidak terlepas dari
perkembangan terakhir pemerintahan kolonial (lihat Williamson, 1999). Pendamping
pertama konsultan ini seorang Belanda, S. Koperberg, yang adalah pustakawan
teman dekat Bung Hatta, tokoh kita yang sangat memperhatikan perpustakaan itu.
Seorang Belanda lainnya, Cora Vreede-de Stuers, menjadi salah satu
penanggungjawab pendirian balai pendidikan untuk pustakawan Indonesia,
sementara kurikulumnya ditulis oleh AH. Habraken (lihat Pengurus Besar Ikatan
Pustakawan Indonesia, 1998). Pada waktu itu peninggalan kepustakawanan Belanda
cukup utuh, termasuk dalam bentuk sistem perpustakaan yang berdasarkan tradisi
kepustakawanan kolonial dengan sistem tertutupnya dan ketertiban katalogisasinya.
Pendidikan para pustakawan yang menangani kelanjutan kepustakawanan
peninggalan Belanda itu pun diarahkan untuk meneruskan tradisi ini.
6.5. Ada beberapa hal yang menarik untuk digarisbawahi. Dalam kunjungan ke Padang,
Dunningham telah melihat adanya kontras antara perpustakaan peninggalan Belanda
yang cenderung besar tetapi sepi dibandingkan dengan perpustakaan yang kecil, di
dekat sebuah restoran, tetapi penuh pengunjung. Ia mencatat perlunya perpustakaan
memiliki pimpinan yang inovatif. Di Medan, ia bertemu dengan pustakawan yang
berhasil membujuk pengelola perpustakaan peninggalan Belanda untuk mengganti
sistem tertutup menjadi sistem terbuka. Sementara itu, ia juga mencatat betapa
birokrasi negara yang baru merdeka ini juga menghambat produksi dan impor buku.
Korupsi pun menurutnya telah muncul dalam perkara pengadaan buku, walaupun
dalam jumlah yang kecil. Hasil-hasil pengamatan Dunningham ini dituangkannya
dalam sebuah laporan kepada UNESCO.
6.6. Pada masa awal Orde Baru, Biro Perpustakaan dihapus dan diganti menjadi
Lembaga Perpustakaan; Departemen Pendidikan Massa juga diganti menjadi
Direktorat Pembangunan Masyarakat, dan semua perpustakaan yang ada di
8 dari 8
bawahnya berganti nama dari Perpustakaan Rakyat menjadi Perpustakaan
Masyarakat. Pemerintah pusat mengalihkan penanganan perpustakaan umum ke
pemerintah daerah. Pada awal Orde Baru pula organisasi profesi pustakawan
diaktifkan kembali dengan nama Asosiasi Perpustakaan Arsip dan Dokumentasi
Indonesia setelah empat tahun tidak aktif karena "kesulitan yang ditimbulkan oleh
G30SPKI". Pada awal pengaktifannya, organisasi ini "membersihkan diri dari
anarsir-anarsir G30SPKI", serta ikut mengutuk PKI dan menyatakan diri sebagai
"bukan gerakan buruh". Dalam salah satu pasalnya, APADI "menyediakan diri untuk
membantu pemerintah, lembaga-lembaga ilmiah, karyawan" Dengan kenyataan
seperti itu, cikal bakal profesi pustakawan di awal Orde Baru telah secara tegas
mengafiliasikan diri mereka kepada pemerintah. Tidak satu pun pasal organisasi ini
menyebut tentang masyarakat. Ketika kemudian organisasi ini berubah menjadi
Ikatan Pustakawan Indonesia, tujuan organisasi dikembangkan lebih luas lagi
menjadi "demi kemajuan pendidikan, ilmu pengetahuan serta kesejahteraan
masyarakat". Sedangkan dalam kegiatannya, IPI juga kembali menyatakan secara
spesifik akan "menyumbangkan pikiran dan tenaga kepada pemerintah". Setelah
dimutakhirkan, IPI bahkan lebih spesifik lagi menyatakan bahwa organisasi ini
bertujuan "mengabdikan dan mengamalkan tenaga dan keahlian pustakawan untuk
bangsa dan negara". Salah satu kegiatan untuk ini adalah mengusahakan
keikutsertaan pustakawan dalam "program pemerintah di bidang perpustakaan,
dokumentasi dan informasi". (lihat Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia,
1998).
6.7. Sebagai sebuah organisasi profesi, IPI di masa Orde Baru memperlihatkan ciri dari
organisasi massa pada umumnya di masa itu, yaitu kuatnya pengaruh pemerintah
pusat dalam kepengurusan dan program-program kegiatannya. Sepanjang hidupnya,
Pengurus Besar IPI didominasi tokoh-tokoh pemerintah pusat, terutama
Perpustakaan Nasional. Sejak kongres pertamanya di tahun 1977, organisasi ini
dipimpin 7 kali oleh pegawai tinggi Perpustakaan Nasional, dan satu kali oleh
pegawai di luar Perpustakaan Nasional. Program-program kerja IPI secara nasional
pada umumnya adalah "program pemerintah" dan keanggotaannya secara mencolok
didominasi oleh pustakawan pegawai negeri. Secara kentara pula, setiap kongres
organisasi ini mengandung satu tema pokok yang seragam dengan tema-tema
pemerintah Orde Baru, sebagaimana bisa disimak di tabel berikut:
Tabel 1 Tema-tema Kongres IPI
Kongres I Peningkatan peranan IPI dalam mencerdaskan bangsa dan
mensukseskan pembangunan Indonesia.
Kongres II Memasyarakatkan jasa perpustakaan dan meningkatkan partisipasi
pustakawan dalam pembangunan.
Kongres III Dengan perpustakaan kita tingkatkan kecerdasan bangsa dan
pembangunan.
Kongres IV Kita tingkatkan peranan perpustakaan dalam menunjang
pembangunan masyarakat desa.
Kongres V Meningkatkan peranan perpustakaan dalam menyongsong era
tinggal landas pembangunan.
Kongres VI Peranan perpustakaan dalam era globalisasi informasi.
Kongres VII Peran strategis pustakawan dalam pembangunan nasional.
6.8. Hal lain yang juga mencolok dalam perkembangan IPI di masa Orde Baru adalah
peran organisasi ini dalam mengembangkan profesionalisme pustakawan pegawai
9 dari 9
negeri lewat sistem akreditasi yang mencerminkan pekerjaan pustakawan sebagai
mekanistis-birokratis. Upaya akreditasi ini mencerminkan kehendak untuk
menyeragamkan tindakan para pustakawan di seluruh Indonesia, terutama yang
bekerja di pemerintah. Lewat standardisasi seperti ini, maka ketrampilan pustakawan
pegawai negeri diawasi oleh kelompok-kelompok pembina yang diisi oleh
pustakawan-pustakawan senior yang juga biasanya adalah birokrat senior. Cara
seperti ini tentu saja kurang diminati oleh para pustakawan yang bekerja di luar
sektor pemerintahan, sehingga timbul perbedaan yang semakin lama semakin
mencolok tentang cara-cara mengukur kompetensi profesional pustakawan di
Indonesia. Imbauan agar pustakawan di swasta menerapkan jenjang seperti di
pemerintah mengingat "perlunya keseragaman" (Rompas, 1996) kurang mendapat
sambutan.
6.9. Besarnya peran dan pengaruh negara juga disebabkan oleh lemahnya peran dan
pengaruh institusi non-negara / non-pemerintah terhadap kepustakawanan Indonesia.
Menarik untuk dicatat di sini, bahwa pustakawan yang bekerja di perpustakaan
khusus atau di pusat-pusat dokumentasi tidak mengembangkan asosiasi tersendiri,
setelah upaya mereka lewat Himpunan Pustakawan Chusus Indonesia (HPCI)
dihentikan tahun 1973. Desakan agar pustakawan khusus, information officer, dan
dokumentalis untuk melebur menjadi "pustakawan" secara umum rupanya lebih kuat
daripada minat mengembangkan profesionalisme yang lebih spesifik. Demikian pula
kelompok pustakawan perguruan tinggi, tidak terlihat aktif mengembangkan
himpunan tersendiri. Padahal, sektor swasta dan lembaga non-pemerintah banyak
mempekerjakan pustakawan khusus maupun pustakawan perguruan tinggi.
Profesionalisme mereka yang bekerja di swasta ini tumbuh secara terpisah dari
rekan-rekan mereka di lembaga-lembaga pemerintah, dan tidak terhimpun secara
formal sebagaimana IPI. Namun jaringan-jaringan kerja antara pustakawan swasta
tumbuh dalam bentuk kerjasama dan pertukaran atau pemakaian sumberdaya
bersama (resource sharing) baik formal maupun informal, terutama setelah teknologi
informasi mulai berkembang di Indonesia. Perpustakaan-perpustakaan swasta pada
umumnya lebih leluasa menerapkan teknologi informasi karena adanya dana yang
cukup atau juga karena relatif tidak terlilit birokrasi. Ini menyebabkan sebagian
pustakawan swasta merasa lebih beruntung daripada rekannya di pemerintahan (lihat
misalnya tulisan Suryaningsih, 1996).
6.10. Walaupun belum ada penelitian yang seksama, namun dapat dikatakan bahwa
perkembangan perpustakaan, pusat informasi, maupun unit-unit manajemen rekod di
sektor swasta saat ini telah melahirkan sekelompok profesional informasi yang
menghadapi persoalan berbeda. Jika rekan-rekan mereka di pemerintah berkutat
dengan birokrasi dan politisasi negara, maka para profesional di swasta ini senantiasa
menghadapi tantangan untuk menyediakan jasa yang terpakai. Ukuran keberhasilan
di swasta menyebabkan pustakawan merasa perlu melakukan re-orientasi dari teknis
dan birokrasi perpustakaan ke pemakai jasa mereka (misalnya, lihat Basri 1996).
Perlu kiranya diingat, di lembaga-lembaga swasta ukuran keberhasilan layanan ini
bisa menentukan karir si pustakawan, sehingga -mungkin tidak secara disadariprofesionalisme
di sektor swasta ini lebih ditentukan oleh hubungan profesi-klien
daripada oleh teknik-mekanistis yang dipakai sebagai penentu di lembaga-lembaga
pemerintah.
6.11. Unsur lain di kepustakawanan Indonesia yang juga kurang banyak diamati dan
kurang berkembang adalah perpustakaan-perpustakaan umum yang dikelola swasta
dengan tujuan-tujuan pengabdian. Termasuk dalam kategori ini sebenarnya adalah
10 dari 10
perpustakaan-perpustakaan lembaga kebudayaan asing dan perpustakaan lembaga
keagamaan. Sebenarnya, kita bisa melihat kaitan antara perkembangan perpustakaan
philanthropist ini dengan ide tentang masyarakat madani dan libertarianisme.
Perpustakaan umum di negara-Inggris, misalnya, tumbuh oleh gerakan-gerakan
kaum sipil yang menginginkan sebuah masyarakat berpengetahuan sebagai pondasi
demokrasi (lihat Murrison, 1988). Di Amerika Serikat, pertumbuhan perpustakaan
umum berkaitan erat dengan kebangkitan asosiasi para pekerja, perjuangan kelas
yang menajam, serta munculnya "kelas menengah" dalam bentuk asosiasi wanita dan
lembaga-lembaga non-pemerintah (Jackson, 1974). Ketiadaan gerakan mendirikan
perpustakaan yang dipromotori oleh masyarakat di Indonesia mungkin bisa dikaitkan
dengan ketiadaan gerakan "kelas menengah". Sebagaimana dikatakan Crouch
(1993), tradisi dan latar politik Indonesia memang berbeda dibandingkan Eropa.
Kelas tengah di Indonesia ditekan oleh kaum teknokrat yang berkoalisi dengan
penguasa model patrimonalisme dan birokrat Orde Baru. Jadi, sudahlah
kepustakawanan Indonesia dibangun oleh tradisi kolonial dengan tujuan penjajahan,
masyarakat Indonesia sendiri juga tidak memiliki tradisi liberal yang di Eropa justru
menumbuhkan kepustakawanan.
7. Profesionalisme dan Pendidikan Pustakawan Indonesia
7.1. Kalau melihat sejarahnya, maka sekali lagi jelas bahwa negara dan pemerintah
adalah pencetus utama pendidikan pustakawan di Indonesia. Bermula dari Kursus
Pendidikan Pegawai Perpustakaan yang kemudian berubah menjadi Kursus
Pendidikan Ahli Pendidikan (perhatikan perubahan dari "pegawai" menjadi "ahli"),
sistem pendidikan awal pustakawan sepenuhnya bergantung pada inisiatif
pemerintah dan tokoh-tokoh pemerintahan. Setelah orang-orang Indonesia mendapat
pendidikan di Belanda, nama pendidikan pun berubah menjadi Sekolah Perpustakaan
yang nampaknya dianggap lebih tinggi dibandingkan "kursus" semata. (lihat
Pengurus Besar Ikatan Pustakawan Indonesia, 1998). Diperlukan "keberanian" cukup
besar untuk mengubah Sekolah Perpustakaan menjadi Jurusan Ilmu Perpustakaan di
tahun 1961 (perhatikan penggunaan istilah "ilmu")3. Selain itu, masuknya sistem
pendidikan pustakawan ini ke kampus (pertama ke Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan, lalu ke Fakultas Sastra) melahirkan dikotomi baru, karena pemerintah
tetap melanjutkan upaya mendidik tenaga pustakawan lewat Pusat Pengembangan
Perpustakaan.
7.2. Perubahan lain yang perlu dicatat adalah masuknya pengaruh Amerika Serikat (AS)
lewat Dr. Robert D. Stevens dari University of Hawaii Graduate School di tahun
1970 yang nampaknya mengubah orientasi Jurusan Ilmu Perpustakaan dari Belanda
ke AS. Lewat Stevens lah pendidikan pustakawan di Indonesia mulai melanjutkan
"mengimpor" prinsip-prinsip kepustakawanan Barat, baik dengan mendidik para
dosen maupun dengan memberikan bantuan buku-buku bacaan (lihat Rungkat,
1997). Patut digarisbawahi di sini bahwa minat pengembangan pendidikan
pustakawan sejak 1970 semakin mengarah ke konsep profesionalisme yang
berkembang di Anglo-Saxon, terutama dengan menekankan pentingnya universitas
sebagai produsen ketrampilan tingkat manajerial. Tetapi, selain menghasilkan
lulusan yang berstatus sarjana, strategi ini tampaknya juga mulai memperlihatkan
3 Pada tahun 1991, Jurusan Ilmu Perpustakaan mencoba menegaskan "objek ilmu" ini lewat beberapa
proses diskusi, sehingga tercapai kesepakatan awal tentang definisi "ilmu perpustakaan". Proses ini
tidak berlanjut sehingga belum ada kata final tentang ini.
11 dari 11
perbedaan pendapat tentang prioritas pendidikan pustakawan di Indonesia.
Sebagaimana dikatakan Rungkat, terjadi perbedaan pendapat di antara para
konsultan (Ward versus Williamson) tentang perlu tidaknya pendidikan sarjana
diprioritaskan. Ward menganggap Indonesia masih perlu ribuan tenaga non-sarjana,
sehingga pendidikan setingkat kursus dan diploma lebih penting daripada tingkat
sarjana. Perdebatan seperti ini terjadi pula di kalangan pemerhati kepustakawanan
Indonesia (lihat misalnya Hariadi, 1983; Sulistyo-Basuki, 1986 dan tanggapannya
oleh Zultanawar, 1986). Kebutuhan akan tenaga non-sarjana mendapatkan
jawabannya dari pendirian program-program diploma, seperti yang misalnya dirintis
oleh Universitas Hasannuding Ujung Pandang sejak 1978.
7.3. Perdebatan tentang "sarjana" dan "non-sarjana" sebenarnya menyembunyikan
perdebatan yang lebih mendasar tentang pendidikan "praktisi" versus "teorisi" yang
juga terjadi di seluruh dunia kepustakawanan. Morehead (1980) sudah mengingatkan
bahwa pendidikan pustakawan tidak pernah bisa sepenuhnya mengabaikan
komponen praktik, juga tidak bisa hidup tanpa eksperimen teoritis. O'Connor dan
Mulvaney (1996) menyatakan bahwa pengajar bidang perpustakaan melayani dua
masters sekaligus, yaitu pihak akademisi dan pihak praktisi. Di Indonesia, persoalan
ini menjadi semakin kompleks karena untuk sebagian besar keperluan lokal,
kepustakawanan yang dikembangkan lewat lembaga-lembaga pendidikan terlalu
"barat".4 Selain itu, muncul berbagai keberatan tentang perlunya seorang pustakawan
menulis skripsi yang membutuhkan penelitian -sebuah syarat yang merupakan
keputusan nasional untuk semua pendidikan sarjana. Di lain pihak, penelitian
bukanlah sesuatu yang ditekankan di dalam pendidikan pustakawan di Indonesia,
sehingga otoritas teoritis dari universitas sering dipertanyakan oleh pihak praktisi.
Hal-hal seperti ini menambah "ketegangan" (walaupun terselubung) antara dunia
praktisi dan dunia akademisi yang mempengaruhi perkembangan profesionalisme
pustakawan di Indonesia.
7.4. Pada tahun 1980an, kepustakawanan Indonesia mendapat banyak bantuan material
dan dana untuk pengembangan sumberdaya manusia lewat World Bank. Selain
menambah jumlah pustakawan yang berpendidikan "barat", bantuan ini juga
meningkatkan keterpaan kepustakawanan Indonesia kepada teknologi informasi.
Pada era yang sama dunia informasi Indonesia sebenarnya mengalami transformasi
cukup fundamental setelah komputer menjadi semakin banyak dipakai. Tuntutan
ketrampilan menggunakan teknologi informasi di kalangan pustakawan semakin
kentara, terutama di kalangan mereka yang bekerja di swasta, tetapi juga yang di
perpustakaan perguruan tinggi negeri. Pendidikan pustakawan Indonesia dapat
dikatakan kewalahan menghadapi tuntutan ini, sehingga selain belajar ke luar negeri
para profesional informasi juga mencari pendidikan di luar pendidikan perpustakaan,
atau lewat kursus-kursus yang diadakan para praktisi. Dengan demikian, sumber
kompetensi untuk profesional informasi tidak lagi dimonopoli oleh sekolah yang
memakai judul "ilmu perpustakaan". Secara tidak langsung otoritas universitas
berkurang. Sebenarnya, hal inilah yang antara lain mendorong penulis bersama
Profesor Sulistyo-Basuki dan Binny Buchori MLS mengkoordinasikan terbentuknya
pendidikan magister di Universitas Indonesia di tahun 1990 (sekarang telah menjadi
Program Studi Ilmu Informasi Perpustakaan dan Kearsipan). Tetapi upaya
mengembalikan otoritas ilmiah dan teknologi ke kampus ini juga tidak sepenuhnya
dapat menjawab persoalan utama menyangkut kebutuhan lapangan dan kesenjangan
4 Seorang konsultan Australia, D.H. Bochart yang bertugas ke Ujung Pandang, Malang dan Denpasar
mencatat keluhan tentang hal ini pertama kali di tahun 1973. Lihat Rungkat, 1997 h. 55.
12 dari 12
"teori" dan "praktik", baik karena kurangnya penelitian teoritis, sedikitnya tenaga
pengajar yang berkualitas, maupun tidak memadainya sarana laboratorium.
8. Kesimpulan : Otonomi dan Masa Depan Pustakawan Indonesia
8.1. Otonomi pustakawan Indonesia tidak bisa dilepaskan dari "kebenaran sejarah" yang
menunjukkan besarnya pengaruh negara dan pemerintah di masa kolonial yang
berlanjut sampai masa kemerdekaan. Sifat pemerintahan dan perkembangan
politisasi negara, dengan demikian, sangat mempengaruhi otonomi pustakawan.
Dalam setiap orde, profesi ini menjadi perpanjangan pemerintah untuk mengurus
negara menurut pandangan politik penguasa waktu itu. Dapat dikatakan,
kepustakawanan Indonesia berawal dari "kepustakawanan negara" yang melahirkan
pustakawan pegawai negeri. Akibat logis dari ini adalah : otonomi dan
profesionalisme pustakawan Indonesia harus pertama-tama mempersoalkan otonomi
dan profesionalisme pegawai negeri. Sebagaimana diuraikan pada butir 5.3, maka
hal ini akan berkaitan dengan "akuntabilitas" (ketaatan kepada hukum dalam
kerangka good governance), "ketanggapan" (komitmen kepada janji politik) dan
"tanggungjawab" (keterikatan etik dan ketrampilan profesional). Bagi pustakawan
pegawai negeri, the art of being professional seringkali merupakan ketrampilan
khusus untuk mengelola ketiganya. Ia tidak lagi bisa semata-mata menjadi birokrat
pemerintahan, dan tidak bisa lagi lepas dari tanggungjawab politis, birokratis
maupun profesionalnya.
8.2. Sementara itu, perkembangan perpustakaan di luar lembaga pemerintah
membutuhkan komitmen yang berbeda. Para pustakawan swasta Indonesia
menghadapi tantangan yang terutama datang dari semakin banyak dan meluasnya
penggunaan berbagai teknologi informasi dan telekomunikasi (telematika). Otonomi
pustakawan di wilayah swasta ini akan berhadapan dengan tuntutan profesionalisme
berbeda yang ditandai oleh adanya hubungan profesi-klien berbasis bisnis. Ukuranukuran
efisiensi dan efektifitas bisnis akan dikenakan kepada mereka dengan
implikasi kepada karir yang sangat berbeda dengan karir pegawai negeri. Tanpa
penelitian dan pengamatan yang lebih serius, sulit mengetahui sifat hubungan
profesi-klien di kalangan pustakawan swasta. Namun dari pengamatan sepintas dapat
dikatakan bahwa profesional di swasta Indonesia saat ini menghadapi persoalan
ketiadaan standar pengukuran kompetensi yang menyebabkan mereka tidak berdaya
berhadapan dengan pasar pemakai tenaga kerja. Di masa yang tidak lama lagi,
persoalan ini akan semakin pelik mengingat kesepakatan perekonomian dunia
(APEC, misalnya) mengijinkan profesi dari luar Indonesia berkiprah di sini. Apa
yang terjadi di kalangan insinyur Indonesia, misalnya, bisa juga terjadi di
pustakawan dan profesional informasi Indonesia.
8.3. Perkembangan pendidikan dan penelitian bidang ilmu informasi, perpustakaan, dan
kearsipan akan sangat bergantung kepada kemampuan universitas memberikan
otoritas ilmu dan teknologi. Hampir sama dengan keadaannya di tahun 60-an,
sekolah-sekolah perpustakaan di Indonesia belum sepenuhnya mampu menyediakan
lulusan dalam jumlah dan kualitas yang memadai. Selain itu, jika dikotomi "praktik -
teoritik" tidak bisa dijernihkan oleh sekolah-sekolah perpustakaan, maka
profesionalisme pustakawan akan sulit mengandalkan otoritas keilmuannya kepada
universitas. Akibatnya, universitas bukanlah sumber otonomi profesional informasi
dan sulitlah bagi lulusannya untuk mengandalkan ijasah atau sertifikasi yang
diterimanya untuk berhadapan dengan pasar pengguna tenaga kerja. Dalam
perkembangan teknologi seperti sekarang ini, maka universitas perlu terus-menerus
13 dari 13
meninjau kurikulumnya serta menselaraskannya dengan kondisi di luar kampus.
Penelitian dan pengembangan (research and development) harus menjadi program
utama di setiap sekolah perpustakaan. Ini membutuhkan tidak saja komitmen para
akademisi, tetapi juga kemampuan ilmiah yang tidak dikembangkan di sekolahsekolah
perpustakaan Indonesia pada era 60 sampai 80. Selain itu, konvergensi
teknologi juga mensyaratkan konvergensi dalam ilmu dan pendidikan pustakawan,
sehingga sejak sekarang orientasi pendidikan harus melihat pula kemungkinan
silang-ilmu dan multi-disiplin. Pembahasan tentang "ilmu perpustakaan dan
informasi" bukannya harus berhenti, tetapi justru harus dimulai lagi karena semakin
relevan dengan kondisi saat ini. Namun pembahasan ini harus meluas ke persoalan
aplikasi ilmu di dalam kondisi sesungguhnya, sehingga jarak antara pengajaran dan
penerapan tidak terlalu jauh.
8.4. Organisasi profesi pustakawan di Indonesia hanya akan bertahan hidup jika
pengurusnya mampu mengelola momentum internal organisasi dan kekuatan
penekan sebagaimana diuraikan di atas (negara, pasar, universitas). Secara khusus,
Ikatan Pustakawan Indonesia perlu meninjau dengan sungguh-sungguh posisinya di
tengah fenomena yang dijelaskan pada butir 8.1 sampai 8.3 di atas. Hal-hal yang bisa
dilakukannya adalah:
a) Menegaskan netralitas dan independensi dengan mengurangi ketergantungan
kepada institusi-institusi negara yang selama ini secara tradisional
mengembangkannya. Ini perlu dilakukan dalam rangka mendukung upaya
pustakawan pegawai negeri untuk mengembangkan otonomi berdasarkan
akontabilitas, ketanggapan, dan tanggungjawab profesional. Selain itu, netralitas
dan independensi ini bisa mengundang para proponen masyarakat madani untuk
mengembangkan aspirasi mereka lewat kepustakawanan Indonesia.
b) Membuka jalur komunikasi intensif dengan pasar dan industri pemakai tenaga
profesional di luar negara. Salah satu harapan pustakawan yang bisa ditumpukan
kepada IPI adalah peningkatan posisi tawar mereka di hadapan penyewa tenaga
kerja (employer). Sebaliknya, kepada pihak perusahaan dan industri, organisasi
profesi bisa memberi jaminan kualitas kompetensi anggota-anggotanya. Ini hanya
bisa dilakukan jika organisasi profesi mampu secara transparan memperlihatkan
kepada dunia industri proses penerimaan anggotanya, dan sebaliknya mampu
memahami kebutuhan serta kondisi sesungguhnya dari dunia industri yang
mempekerjakan pustakawan di Indonesia. Untuk ini, IPI bisa mendorong
tumbuhnya kelompok-kelompok kepentingan dan terfokus (interest group,
focused group) yang mencerminkan kondisi industri informasi di Indonesia
sesungguhnya. Hal ini membutuhkan kepemimpinan (leaderships) yang berbeda
dari sebelumnya. Pemimpin IPI di masa mendatang adalah pemimpin yang
mendorong desentralisasi, bukan yang menghimpun kekuasaan terpusat di
sekelilingnya.
c) Mengatur kembali posisi IPI vis a vis institusi pendidikan perpustakaan.
Organisasi ini perlu merumuskan perannya sebagai mitra para akademisi dengan
menjadi penyalur tuntutan kompetensi dari pasar dan anggotanya. Ini adalah
peran kritis karena organisasi profesi diharapkan bisa ikut memeriksa kurikulum
pendidikan. Namun untuk itu dibutuhkan pengurus yang berkompeten, dan salah
satu sumbernya adalah himpunan alumni. Kerjasama IPI dengan himpunan
alumni akan membuka akses organisasi ini ke sekolah-sekolah perpustakaan.
Hubungan seperti ini akan berbeda dibandingkan hubungan lewat individu14
dari 14
individu lulusan sebuah sekolah perpustakaan atau hubungan langsung ke
pengurus sekolah-sekolah perpustakaan. Hubungan dengan himpunan alumni
memungkinkan IPI bersikap lebih kritis. Selain itu, himpunan alumni sekaligus
memberi akses ke dunia kerja mereka.
Akhirnya, makalah ini harus ditutup dengan himbauan kepada kita semua agar menyadari
bahwa tantangan yang akan dihadapi pustakawan Indonesia di masa depan tidaklah kecil atau
mudah. Otonomi pustakawan dengan prinsip-prinsip yang telah diuraikan di atas merupakan
hanya salah satu cara saja untuk menghadapi tantangan itu. Hal lain yang mendesak untuk
dikerjakan misalnya adalah kepastian hukum tentang sistem informasi di Indonesia. Sudah
waktunya bagi IPI untuk juga memperhatikan dan memihak kepada masyarakat luas yang saat
ini menghadapi berbagai persoalan berkaitan dengan perkembangan teknologi yang
mengancam kehidupan pribadi (privacy), kontrol penguasa terhadap masyarakat, sensor, dan
plagiarisme di bidang ilmu.
Daftar Bacaan
Basri, Elly J. (1996), "Jasa informasi bagi pemakai perpustakaan LPPM" dalam Prosiding
Seminar Sehari Layanan Pusdokinfo Berorientasi Pemakai : Pandangan Akademisi
dan Praktisi, Jakarta : Program Studi Ilmu Perpustakaan.
Cigler, B. (1990). Public Administration and Paradox of Professionalism. Public
Administration Review, Vol. 50, November/December, pp. 637-653.
Crouch, Harold (1993), "Hilangnya kelas menengah di masa Orde Baru" dalam Kelas
Menengah Digugat, Happy B. Zulkarnaen et. al (editor), Jakarta : Fikahati Aneska.
Freidson, Eliot (1994), "Method and substance in the comparative study of professions",
pidato pembukaan, Conference on Regulating Expertise - Paris April 14 1994.
diturunkan dari http://itsa.ucsf.edu/~eliotf pada 10 Agustus 1998.
Habermas, J (1977) Knowledge and human interests Boston Ma., Beacon Press.
Handy, C (1989) The age of unreason London, Century Business
Hardjo-Prakoso, Mastini (1975) "Government policies affecting development and growth of
libraries in Indonesia" dalam Proceeding of the Third Conference of South East Asian
Libraries, Jakarta : Ikatan Pustakawan Indonesia.
Hariadi, Sri Sanuti (1983), "Pendidikan program diploma perpustakaan di Indonesia",
Majalah Ilmu Perpustakaan dan Informatika, Januari-Agustus, h. 4 - 11.
Hudson, Hugh D. Jr. (1994). Blueprints and Blood: The Stalinization of Soviet Architecture,
1917-1937. Princeton, NJ: Princeton University Press;
Huque, Ahmed S., Jermain TM Lam, Jane CY Lee (1996) Public Administration in the NICs,
London : McMillan Press.
Jones, Anthony. (ed.). (1991). Professions and the State: Expertise and Autonomy in the
Soviet Union and Eastern Europe. Philadelphia, PA: Temple University Press
Kuntowijoyo (1987) Budaya dan Masyarakat Yogyakarta : Tiara Wacana.
15 dari 15
Lester, Stan (1995) "Beyond Knowledge and Competence towards a framework for
professional education" Capability 1 (3) 44-52.
Montgomery, Van Wart. (1998). Changing Public Sector Values. New York : Galland
Publishing, Inc.
Morehead, J. (1980), Theory and Practice in Library Education, Chicago : Libraries
Unlimited.
Mosher, Frederick C. (1968). Democracy and Public Service. New York: Oxford University
Press, pp. 3, 101-106.
Murrison, W.J. (1988), The Public Library : its Origin, Purposes, and Significance, London :
G.O. Harrop.
O'Connor, D. dan J.P. Mulvaney (1996), "LIS facultie research and expectations of the
accademic culture versus the needs of the practitioners" dalam Journal of Education
for Library and Information Science, v 37 no 4, h. 306 - 316.
Pendit, Putu Laxman (1988), Public Library and Adult Education in Great Britain and
Indonesia : Comparison as Learning. Thesis untuk M.A. in Library and Information
Science, Loughborough University of Technology, Inggris (tidak diterbitkan).
__________________ (1992a), Ilmu perpustakaan dan kepustakawanan Indonesia. Makalah
untuk diskusi panel "Perpanduan Teoritisi, Praktisi dan Organisasi Pustakawan dalam
Era Globalisasi Informasi" diselenggarakan Komisi Profesi dan Komisi Usaha
Pengurus Besar Ikatan Pustakawan di Perpustakaan Nasional Jakarta, 21 Maret 1992.
__________________ (1992b), Model untuk kepustakawanan Indonesia : sebuah usul
pendahuluan. Makalah pendukung untuk Kongres VI dan Seminar Perpustakaan
Ikatan Pustakawan Indonesia, Padang 18 - 20 November 1992.
__________________ (1993), Perpustakaan umum, golongan menengah, dan demokratisasi :
sebuah tinjauan awal tentang sejarah peran perpustakaan umum dalam masyarakat
Indonesia. Laporan Penelitian OPF Fakultas Sastra Universitas Indonesia 1993-1994
(tidak diterbitkan.
Riggs, Fred C. (1997). Coups and Crashes: Lessons for Public Administration. In Farazmand,
Ali. (ed.). (1997). Modern Systems of Government: Exploring the Role of Bureaucrats
and Politicians. Thousand Oaks, London: SAGE Publications, p. 25.
Rompas, J.P. (1996), "Standar jabatan dan kepangkatan di kalangan pustakawan" dalam
Majalah Ikatan Pustakawan Indonesia v 18 no 1-2, h. 16 - 22.
Rockman, Bert A. (1997). “Honey, I Shrank the State.” On the Brave New World of Public
Administration. In Farazmand, Ali. (ed.). (1997). Modern Systems of Government:
Exploring the Role of Bureaucrats and Politicians. Thousand Oaks, London: SAGE
Publications, p. 281.
Rungkat, Thelma (1997), Education and Training for Librarianship in Indonesia 1945 - 1984,
Melbourne : Ancora Press.
Setiadi, Hilmar Farid (1991), "Kolonialisme dan budaya : Balai Poestaka di Hindia Belanda"
dalam Prisma no. 10 th. XX, Oktober, h. 23 - 46.
16 dari 16
Sulistyo-Basuki, L. (1986), "Pendidikan pustakawan Indonesia serta luarannya", dalam
Prosiding Seminar dan Rapat Kerja IPI Oktober 24 - 26 1985 di Bandung, Jakarta :
PB IPI, h. 17 - 24.
________________ (1998), "The rise and growth of libraries in pre-war Indonesia" dalam
Library History, v. 14, h. 55 - 64.
Suryaningsih, Sri (1996), "Sumbangan pemikiran tentang peran dan status perpustakaan /
pustakawan swasta" dalam Prosiding Rapat Kerja Pusat VIII dan Seminar Ilmiah IPI
di Kuta 8 - 11 Desember 1996, Jakarta : PB IPI.
Tjoen, M. J. dan S. Pardede (1966), Perpustakaan Indonesia dari Zaman ke Zaman. Jakarta :
Kantor Bibliografi Nasional Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Williamson, W.L (1999), "Library consultant in Indonesia : the work of AGW Dunningham"
dalam Library Quarterly, v. 69. h. 57 - 67.
Zultanawar (1986), "Tanggapan atas makalah Dr. Sulistyo-Basuki" dalam Prosiding Seminar
dan Rapat Kerja IPI Oktober 24 - 26 1985 di Bandung, Jakarta : PB IPI, h. 32 - 34.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar